HUBUNGAN PENGASUHAN TERHADAP HARGA DIRI REMAJA
A. KERANGKA PEMIKIRAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perasaan positif
remaja terhadap dirinya tidak dapat dilepaskan dari relasi remaja dengan orang
tuanya. Pada mulanya interaksi remaja dengan orang tua dipandang sebagai proses
searah dari orang tua ke remaja. Namun dalam perkembangan selanjutnya, proses
interaksi orang tua dengan remaja telah
dipandang sebagai proses timbal balik,
yaitu orang tua dan remaja saling mempengaruhi (Shaffer 2002).
Terkait dengan harga diri remaja, hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengasuhan memiliki dampak jangka panjang terhadap harga diri
remaja. Orang tua yang kurang terlibat dalam pengasuhan dan kurang suportif
terbukti memiliki harga diri yang rendah (Axinn, Barber, Thornton, 1998).
Sebaliknya, sikap orang tua yang suportif dan terlibat secara terus menerus
dalam pengasuhan diketahui berdampak positif terhadap harga diri remaja (Demo et al. 1987). Hasil penelitian Anderson
dan Hughes (1989) juga menunjukkan bahwa sikap orang tua dalam pengasuhan
berpengaruh secara langsung terhadap harga diri anak.
Sama
halnya dengan penelitian Scott (1939) dalam Santrock (2003), juga menyatakan
bahwa pada keluarga dimana terdapat rasa saling percaya dan kecocokan di antara
orangtua dan anak akan membentuk anak yang berpandangan lebih positif tentang
diri mereka sendiri.
Dalam
kerangka pemikiran tersebut di atas terlihat variable-variabel yang akan
diteliti, dimana variabel independennya adalah pengasuhan orang tua dengan
komponen variabelnya yaitu responsivitas (dukungan), tuntutan (kontrol), dan komunikasi
orang tua-remaja dalam pengasuhan. Sedangkan yang menjadi variabel dependennya
adalah harga diri remaja dengan komponen variabelnya
terdiri atas : (1) kekuasaan (power);
(2) keberartian (significance); (3) kebajikan (virtue); dan kemampuan
(competence) (Coopersmith dalam Burn, 1998).
B. PENDAHULUAN
Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam membentuk
kepribadian seorang anak. Seorang anak akan tumbuh menjadi seorang remaja yang
memiliki harga diri yang baik yang hal tersebut sangat dipengaruhi oleh gaya
pengasuhan orangtua dalam lingkungan keluarganya.
Semua
orangtua tentu saja mengharapkan anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang
cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun harapan tersebut
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dituntut kesabaran, keuletan dan
kesungguhan dari para orangtua agar harapan tersebut dapat terwujud. Salah satu
yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah menerapkan gaya pengasuhan yang
tepat agar anaknya dapat berkembang menjadi manusia dewasa seperti yang
diharapkan.
Wahana
yang pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak adalah
keluarga. Dalam lingkungan keluargalah anak diasuh dan dibesarkan sehingga
mengalami suatu proses untuk menjadi seorang manusia yang dewasa.
Fungsi
keluarga dalam proses memberi ācorak dan warnaā seorang anak sangat vital.
Fungsi tersebut di samping sangat vital juga berubah dan mengalami perkembangan
seiring dengan bertumbuh dan berkembangnya usia seorang anak Misalnya pada masa
bayi dan kanak-kanak, fungsi dan tanggung jawab utama sebuah keluarga adalah
mengasuh, merawat, melindungi, membesarkan, dan melakukan proses sosialisasi.
Namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, misalnya ketika
ia menjadi seorang remaja, maka fungsi utama keluarga akan bergeser dan
bertambah pula. Seorang remaja lebih membutuhkan dukungan (support) dari sekedar pengasuhan (nurturance), ia lebih membutuhkan bimbingan (guidance) dari sekedar perlindungan (protection), dan seorang remaja lebih membutuhkan pengarahan (direction) dari sekedar sosialisasi (socialization) (Steinberg, 1991).
Orangtua, melalui gaya pengasuhannya, dipandang sebagai faktor
penentu (determinant factor) yang mempengaruhi perkembangan harga diri
remaja. Disadari atau tidak, gaya asuh orangtua telah meletakkan dasar-dasar
perkembangan pola sikap dan tingkah laku anaknya.
C. TINJAUAN PUSTAKA
C. 1. Pengasuhan Orangtua
Pengasuhan dapat didefinisikan sebagai cara orang tua dalam
memperlakukan, berkomunikasi, mendisiplinkan, memonitor, dan mendukung anak.
Definisi yang lain menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah sebuah interkasi
yang terjadi antara pengasuh (orang tua, orang dewasa) dengan anak-anak yang
diasuh. Pengasuhan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku
sesuai dengan keinginan pengasuh (Gunarsa, 1981). Pengasuh anak menjadi sangat
penting karena melalui proses pengasuhan itulah anak tumbuh dan berkembang
menjadi sebuah sosok individu dengan seperangkat karakteristik sejalan dengan
yang ia terima selama proses pengasuhan berlangsung (Abrahi, 1998).
Dalam sebuah keluarga, interaksi antara orangtua dengan anaknya
melibatkan pola tingkah laku tertentu dari orangtua. Pola interaksi antara
orangtua dengan anak dalam sebuah keluarga untuk mengajar, membimbing dan
mendidik dengan suatu tujuan tertentu dinamakan gaya pengasuhan (parenting
style). Gaya pengasuhan merupakan cara yang khas dalam menyatakan pikiran
dan perasaan dalam berinteraksi antara orangtua dengan anaknya.
Penelitian tentang gaya pengasuhan orangtua telah dilakukan sejak
tahun 1930-an. Salah seorang peneliti yang teorinya banyak digunakan hingga
sekarang dan dianggap paling populer adalah Baumrind. Baumrind (1991) mengemukakan
4 (empat) macam gaya pengasuhan orangtua yakni: authoritarian,
authoritative, permissive, dan uninvolved/neglectful. Keempat gaya
pengasuhan tersebut memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masing memberikan
efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak.
1. 1. Authoritarian.
Gaya authoritarian merupakan suatu bentuk pengasuhan orangtua
yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya.
Orangtua yang bergaya authoritarian menekankan adanya kepatuhan seorang
anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa
penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan
tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi
norma yang berlaku. Orangtua yang demikian yakin bahwa cara yang keras
merupakan cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Orangtua demikian sulit
menerima pandangan anaknya, tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk
mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi
semua. Orangtua yang bergaya authoritarian meyakini bahwa seorang anak
akan menerima dengan baik setiap perkataan atau setiap perintah orangtuanya,
setiap anak harus melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh
orangtuanya (Baumrind, 1967). Orangtua authoritarian akan mencoba
mengontrol remaja dengan peraturan-peraturan yang mereka tetapkan, selalu
memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan. Orangtua authoritarian selalu
menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya, dan seringkali gagal memberikan
kehangatan kepada anaknya.
Orangtua yang bergaya authoritarian selalu berusaha
mengarahkan, menentukan, dan menilai tingkah laku dan sikap anaknya sesuai
dengan standar peraturan yang ditetapkannya sendiri. Standar dimaksud biasanya
didasarkan pada standar yang absolut seperti nilai-nilai ajaran dan norma-norma
agama, sehingga menutup kemungkinan bagi anaknya untuk dapat membantah
orangtuanya. Gaya pengasuhan orangtua yang demikian sangat berpotensi
menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah
menginjak masa remaja, atau sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan
seorang remaja terhadap orangtuanya (Rice, 1996), anak remaja akan kehilangan
aktivitas kreatifnya, dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam
kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock, 1985), remaja
cenderung akan mengucilkan dirinya, kurang berani dalam menghadapi tantangan
tugas dan tidak merasa bahagia (Baumrind, 1967).
Seorang remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau
orangtua authoritarian cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan
menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan
oleh orangtuanya, namun di balik itu sesungguhnya mereka merasa menderita
dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih
menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Kontrol oran
tua terhadap anak berdampak buruk terhadap harga diri. Hal ini dapat disebabkan
oleh rasa tidak nyaman yang timbul pada remaja manakala orang tuanya menerapkan
control yang berlebihan, dianggap telah mengganggu privasi dan kebebasan yang
dimilikinya. Apalagi pada masa remaja tersebut, remaja ingin keberadaannya
diakui dan mulai bersikap otonom.
1. 2. Authoritative
Bentuk perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan
cara melibatkan anak (dalam hal ini anak usia remaja) dalam mengambil keputusan
yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan authoritative.
Orangtua yang authoritative bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan
kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan
yang rasional, orangtua demikian mempunyai hubungan yang dekat dengan
anak-anaknya, dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat
peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran.
Orangtua yang bergaya authoritative bertingkah laku hangat
tetapi tetap tegas. Mereka menerapkan seperangkat standar untuk mengatur
anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha membangun harapan-harapan yang
disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan
anak-anaknya. Mereka juga menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan
sabar pandangan anak-anaknya, dan mendukung keterlibatan anaknya dalam membuat
keputusan di dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai
dan menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang authoritative.
Dalam keluarga yang authoritative,
keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun
keputusan akhir seringkali berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan
kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan
melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima maka
orangtua yang authoritative akan memberikan dukungan, tetapi jika tidak
maka orangtua akan menjelaskan alasan-alasannya mengapa dia tidak merestui
keputusan anaknya tersebut. Pola interaksi yang demikian akan memberikan
kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memahami pandangan orang lain yang
pada akhirnya dapat mengantar pada suatu keputusan yang dapat diterima oleh
kedua belah pihak.
Orangtua yang authoritative selalu berusaha menanamkan
nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya,
sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya.
Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan
dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin
selalu ditanamkan oleh orangtua yang authoritative. Dalam mengatur
hubungan diantara anggota keluarganya, orangtua yang authoritative akan
menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan yang
disertai dengan pengertian dan cinta kasih. Anak-anaknya akan didorong untuk
dapat melepaskan diri (self-detach) secara berangsur-angsur dari
ketergantungan terhadap keluarga (Steinberg, 1993, Rice, 1996, Thornburg,
1982).
Santrock (1985) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan gaya
pengasuhan orangtua yang authoritative akan memunculkan keberanian,
motivasi dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya. Gaya
pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan
rasa percaya diri, dan tanggungjawab sosial pada anak remaja.
Para
remaja yang hidup dalam keluarga yang authoritative akan menjalani
kehidupannya dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki
pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak
anarkis (Baumrind, 1967). Mereka juga akan memiliki kemandirian yang tinggi,
mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang baik, memiliki kematangan
sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya.
1. 3. Permissive
Pola-pola perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan
memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau
pengawasan yang ketat merupakan bentuk atau gaya pengasuhan yang permissive.
Orangtua
yang permissive akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk
bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Sekiranya orangtua membuat sebuah
peraturan tertentu namun anak-anaknya tidak menyetujui atau tidak mematuhinya,
maka orangtua yang permissive cenderung akan bersikap mengalah dan akan
mengikuti kemauan anak-anaknya.
Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga,
orangtua yang permissive jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung
berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar
suatu peraturan tersebut. Orangtua yang seperti demikian umumnya membiarkan
anaknya (terutama anak remajanya) untuk menentukan tingkah lakunya sendiri,
mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orangtua dengan
tegas saat mengasuh dan membesarkan anak remajanya (Baumrind, 1967).
Sedikit, atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap anak
remajanya, lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak remajanya merupakan ciri
dari gaya pengasuhan dari orangtua yang permissive. Gaya pengasuhan
demikian dipilih oleh orangtua yang permissive karena mereka menganggap bahwa
remaja harus memiliki kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol
oleh orang dewasa (Baumrind, 1967). Orangtua yang permissive bersikap
lunak, lemah dan pasif dalam persoalan disiplin. Mereka cenderng tidak
menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah laku anak remajanya, memberikan
kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak sesuai dengan kehendak anak
remajanya sendirinya. Kontrol atau pengendalian yang ketat terhadap remaja
menurut pandangan orangtua yang permissive adalah sebuah pelanggaran
terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan seorang remaja (Steinberg,
1993)
Menurut Baumrind (1971), remaja yang berada dalam pengasuhan
orangtua yang permissive sangat tidak matang dalam berbagai aspek psikososial.
Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh, dan menentang
apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan
keinginan-keinginan sesaatnya. Mereka juga terlalu menuntut, sangat tergantung
pada orang lain, kurang gigih dalam mengerjakan tugas-tugas, tidak tekun dalam
belajar di sekolah. Tingkah laku sosial remaja ini kurang matang, kadang-kadang
menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat jelek, dan tidak
mampu mengarahkan diri dan tidak bertanggung jawab (Santrock, 1985).
Meskipun di satu sisi gaya pengasuhan yang permissive dapat
memberikan remaja kebebasan bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu
dapat meningkatkan tingkah laku bertanggung jawab. Remaja yang mendapatkan
kebebasan tanpa adanya pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang
sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Kurangnya bimbingan dan
pengarahan dari orangtua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak punya
orientasi, dan penuh keraguan. Jika remaja menafsirkan bahwa kelonggaran
pengawasan dari orangtua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian atau
penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orangtuanya sebab
dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka (Rice, 1996).
1. 4. Uninvolved/neglectful
Gaya pengasuhan uninvolved/neglectful adalah gaya pengasuhan
dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing dengan
kehidupan anaknya. Gaya pengasuhan orangtua yang uninvolved lebih
berdampak buruk dibandingkan dengan gaya pengasuhan yang permissive karena
tidak adanya ikatan emosi ditambah dengan penerapan batasan yang kabur.
Orangtua yang demikian hanya fokus pada penyediaan kebutuhan materi/fisik saja
terhadap anak-anaknya, pemenuhan kebutuhan immateri/psikis anaknya terabaikan
atau bahkan sama sekali tidak pernah diperhatikannya, padahal kebutuhan
immateri/psikis seorang anak lebih penting dari sekedar pemenuhan kebutuhan
materi/fisik.
Anak dari orangtua yang memiliki gaya pengasuhan uninvolved,
ketika mereka tumbuh menjadi remaja, biasanya sering mencari pelarian dari rasa
kesepiannya dengan cara mencari penerimaan dari orang lain. Akibatnya mereka
seringkali terlibat dalam masalah-masalah perilaku dibandingkan dengan anak
yang memiliki orangtua dengan gaya pengasuhan authoritative. Masalah
perilaku tersebut misalnya perilaku seks bebas, penggunaan obat-obatan
terlarang, maupun berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya sebagai salah satu
cara atau bentuk mereka dalam mencari penerimaan dari orang lain. Secara emosi,
remaja yang seperti ini mudah sekali mengalami depresi dan sering merasa
ditolak. Dalam banyak kejadian, mereka tumbuh dengan perasaan ingin melawan,
menentang, dan rasa marah yang bergejolak kepada orangtuanya karena merasa
telah diabaikan dan dikucilkan. Mereka akan mempunyai harga diri yang rendah,
tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan
bagian yang penting untuk orang tuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak
buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak
akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak. Akibatnya, masalah
menyerupai lingkaran setan yang tidak pernah putus.
Baumrind (1991) mengidentifikasi dua dimensi dalam
pengasuhan, yakni ketanggapan (responsiveness) dan tuntutan (demandingness).
Ketanggapan terkait dengan sikap orang tua dalam memenuhi kebutuhan remaja yang
diwujudkan melalui penerimaan dan dukungan. Tuntutan orang tua berkaitan dengan
banyaknya persyaratan atau batasan yang diajukan orang tua pada remaja agar
remaja berperilaku matang dan bertanggung jawab, sebagaimana ditunjukkan oleh
orang tua dalam perilaku kontrol dan supervisi.
Fokus pada tulisan ini adalah pada
dukungan, kontrol dan komunikasi yang dilakukan orang tua terhadap remaja.
Istilah support dan care dimasukkan dalam kategori dukungan
karena mengungkap persepsi remaja terhadap perilaku orang tua dalam
mengkomunikasikan perasaan hangat, afeksi, rasa berharga (Bamaca, 2005), sikap
merawat, menghargai, dan memuji (Barber 1992), dan mengungkapkan penerimaan
(Hertz & Gullone 1999).
Istilah negative control, psychological control, dan over protection dikelompokkan dalam kategori control yang mengungkap persepsi remaja terhadap pengendalian yang
dilakukan oleh orang tua terhadap perilaku remaja dan pencegahan perilaku untuk
mandiri (Hertz & Gullone 1999), dan tidak tanggap terhadap kebutuhan
psikologis remaja (Plunkett et al
2007).
Adapun komunikasi yang terjadi
antara orang tua dan anak berkaitan erat dengan pemaknaan anak terhadap
tindakan yang dilakukan orang tua terhadap anak, utamanya dalam mengendalikan
perilaku anak. Kesediaan anak untuk mengkomunikasikan pengalamannya secara
terbuka pada orang tua mencerminkan adanya rasa percaya anak terhadap orang
tua. Sebaliknya, bila anak tidak memiliki rasa percaya terhadap orang tua, anak
kurang bersedia untuk berbagi pengalamannya dengan orang tua (Shek 2006).
Dampak komunikasi orang tua-anak yang dilandasi dengan rasa percaya adalah anak
memaknai pengendalian orang tua terhadap perilaku anak sebagai tindakan yang
positif dan tidak dirasakan sebagai tindakan yang merugikan anak.
C. 2. Harga Diri
Harga
diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran penting dan
berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu.
Coopersmith
(dikutip dalam Burn, 1998) mengatakan bahwa :
āHarga diri merupakan evaluasi yang
dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima,
menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan,
keberartian, kesuksesan, keberhargaanā.
Secara
singkat, harga diri adalah āPersonal judgmentā mengenai perasaan
berharga atau berarti yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap
dirinyaā. Stuart dan Sundeen (1991), mengatakan bahwa harga diri adalah penilaian
individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku
memenuhi ideal dirinya. Dapat disimpulkan bahwa harga diri menggambarkan sejauh
mana individu tersebut menilai dirinya sebagai orang yang memeiliki kemampuan,
keberartian, berharga, dan kompeten.
2.1. Karakteristik
Harga Diri
Menurut
Coopersmith (dalam Burn, 1998) harga diri mempunyai beberapa karakteristik,
yaitu : (1) harga diri sebagai sesuatu yang bersifat umum; (2) harga diri
bervariasi dalam berbagai pengalaman; dan (3) evaluasi diri. Individu yang
memiliki harga diri tinggi menunjukkan perilaku menerima dirinya apa adanya,
percaya diri, puas dengan karakter dan kemampuan diri dan individu yang
memiliki harga diri rendah, akan menunjukkan perhargaan buruk terhadap dirinya
sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial (Stuart dan
Sundeen, 1991 dan Keliat, 1995).
2. 2. Pembentukan Harga
Diri
Harga
diri mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan dengan dunia
luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Interaksi
secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung
pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi menimbulkan
pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal
ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai orang yang berarti,
berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga
individu mempunyai perasaan harga
diri (Burn, 1998).
Harga
diri mengandung pengertianāsiapa dan apa diri sayaā. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan seseorang, selalu mendapat penilaian berdasarkan kriteria
dan standar tertentu, atribut-atribut yang melekat dalam diri individu akan
mendapat masukan dari orang lain dalam proses berinteraksi dimana proses ini
dapat menguji individu, yang memperlihatkan standar
dan nilai diri yang terinternalisasi dari masyarakat dan orang lain.
2. 3. Aspek-Aspek dalam
Harga Diri
Coopersmith
(1998) membagi harga diri ke dalam empat aspek :
1)
Kekuasaan (power)
Kemampuan
untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain.
Kemampuan
ini ditandai adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang
lain.
2)
Keberartian (significance)
Adanya
kepedulian, penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain.
3)
Kebajikan (virtue)
Ketaatan
mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi
tingkah laku yang tidak diperbolehkan.
4)
Kemampuan (competence)
Sukses
memenuhi tuntutan prestasi.
2. 4. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Harga Diri
Faktor-faktor
yang melatarbelakangi harga diri yaitu : (1) pengalaman; (2) pola asuh; (3)
lingkungan; dan (4) sosial ekonomi (Coopersmith, dalam Burn, 1998). Pengalaman
merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan kejadian yang pernah
dialami individu yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidup
individu (Yusuf, 2000). Pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan
anak-anaknya yang meliputi cara orangtua memberikan aturanaturan, hadiah maupun
hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan
perhatiannya serta tanggapan terhadap anaknya (Shochih, 1998). Lingkungan
memberikan dampak
besar kepada remaja melalui
hubungan yang baik antara remaja dengan orangtua, teman sebaya, dan lingkungan sekitar
sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial dan harga
dirinya (Yusuf, 2000). Sosial ekonomi merupakan suatu yang mendasari perbuatan
seseorang untuk memenuhi dorongan sosial yang memerlukan dukungan finansial
yang berpengaruh pada kebutuhan hidup sehari-hari (Ali dan Asrori, 2004).
2. 5. Hambatan dalam
Perkembangan Harga Diri
Menurut
Dariuszky (2004) yang menghambat perkembangan harga diri adalah : Perasaan
takut , yaitu kekhawatiran atau ketakutan (fear). Dalam kehidupan sehari-hari
individu harus menempatkan diri di tengah-tengah realita. Ada yang menghadapi
fakta-fakta kehidupan dengan penuh kebenaran, akan tetapi ada juga yang
menghadapinya dengan perasaan tidak berdaya. Ini adalah tanggapan negatif
terhadap diri, sehingga sekitarnya pun merupakan sesuatu yang negatif bagi
dirinya. Tanggapan ini menjadikan individu selalu hidup dalam ketakutan yang
akan mempengaruhi seluruh alam perasaannya sehingga terjadi keguncangan dalam
keseimbangan kepribadian, yaitu suatu keadaan emosi yang labil. Maka dalam
keadaan tersebut individu tidak berpikir secara wajar, jalan pikirannya palsu,
dan segala sesuatu yang diluar diri yang dipersepsikan secara salah. Dengan
demikian tindakan-tindakannya menjadi tidak adekuat sebab diarahkan untuk kekurangan
dirinya. Keadaan ini lama kelamaan tidak dapat dipertahankan lagi, yang
akhirnya akan menimbulkan kecemasan, sehingga jelaslah bahwa keadaan ini akan berpengaruh
pada perkembangan harga dirinya.
Perasaan
salah yang pertama dimiliki oleh individu yang mempunyai pegangan hidup
berdasarkan kesadaran dan keyakinan diri, atau dengan kata lain individu
sendiri telah menentukan kriteria mengenai mana yang baik dan buruk bagi
dirinya Perasaan salah yang kedua adalah merasa salah terhadap ketakutan,
seperti umpamanya orangtua. Keadaan ini kemudian terlihat dalam bentuk
kecemasan yang merupakan unsure penghambat bagi perkembangan kepercayaan akan
diri sendiri.
C. 3 Remaja
Istilah
remaja sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional,
sosial dan fisik (Hurlock, 1998). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock,
1998) yang menyatakan bahwa secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana
anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan
merasa sama atau paling tidak sejajar.
3.1. Batasan Usia
Remaja
Mengenai
batasan usia remaja itu sendiri, para ahli memasukkannya dalam beberapa
periode. Menurut Hurlock (1998), masa remaja dibagi ke dalam dua periode, yaitu
: (1) remaja awal (early adolescence), antara usia 13 ā 17 tahun untuk
wanita dan 14 ā 17 untuk laki-laki; (2) remaja akhir (late adolescence),
antara 17 ā 21 tahun. Menurut Mappiare (1992) batasan usia remaja di Indonesia
: (1) remaja awal, antara 12/13 ā 17/18 tahun; (2) remaja akhir, antara 17/18 ā
21/22 tahun.
3. 2. Karakteristik
Remaja
Ciri
khas remaja sering disebut āstorm and stressā, remaja sangat peka,
sering berubah sikap atau haluan (Hall dalam Mappiare, 1992). Masa ini biasanya
dirasakan sebagai masa sulit, karena pada periode ini terjadi perubahan fisik
dan perkembangan psikologisnya yang pesat, sehingga masa ini sering disertai
dengan gejala dan permasalahan baik fisiologis maupun psikologis
(Pudigjogyanti, 1995). Masa remaja seringkali dikenal dengan nama mencari jati
diri atau disebut dengan identitas ego (Erikcson, dalam Ali & Asrori,
2004).
Adanya
karakteristik yang sering terjadi pada remaja : (1) kegelisahan; (2) pertentangan;
(3) mengkhayal; (4) aktivitas kelkompok; (5) keinginan mencoba sesuatu
(Soekanto, dalam Ali & Asrori, 2004).
3. 3. Tugas
Perkembangan Remaja
Kay
(dalam Yusuf, 2000) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja sebagai
berikut : (1) menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya; (2)
mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang mempunyai
autoritas; (3) mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar
bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun
kelompok; (4) menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya; (5) menerima
dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri; (6)
memperkuat self-control atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau
falsafah hidup; (7) mampu meningkatkan reaksi dan penyesuaian diri.
C. 4. Harga Diri Remaja
Harga
diri dikembangkan oleh remaja melalui penerimaan terhadap dirinya dan interaksi
yang dilakukannya dengan orang lain. Sebagai pribadi, ketika memasuki pubertas,
remaja mulai membandingkan dirinya dengan teman sebayanya maupun dengan figure
yang diidealkannya. Melalui pembandingan tersebut, pada diri remaja dapat
timbul rasa malu bila dirinya jauh dari yang diidealkan. Sebaliknya, remaja
dapat memiliki perasaan poitif bila kesenjangan dengan diri yang diidealkannya
tidak terlampau jauh (Rice & Dolgin, 2008).
Hasil
penelitian Amato dan Ochiltree (1986) menunjukkan bahwa sumber-sumber
interpersonal seperti harapan orang tua, bantuan, dan perhataian, berhubungan
lebih erat dengan perkembangan harga diri anak daripada unsure-unsur yang ada
dalam struktur keluarga seperti penghasilan orang tua, pendidikan dan
pekerjaan.
Menurut
Flemming & Courtney (1984) dalam Frey (1994) mengemukakan bahwa harga diri
pada remaja dibagi menjadi lima aspek, yaitu :
1)
Perasaan ingin dihormati
Perasaan
ingin diterima oleh orang lain, perasaan ingin dihargai, didukung,
diperhatikan, dan merasa diri berguna.
2)
Percaya diri dalam bersosialisasi
Merasa
percaya diri, mudah bergaul dengan orang lain, baik baru dikenal maupun baru
dikenal.
3)
Kemampuan akademik
Sukses
memenuhi tuntutan prestasi ditandai oleh keberhasilan individu dalam
mengerjakan bermacam-macam tugas pekerjaan dengan baik dan benar.
4)
Penampilan fisik
Kemampuan
merasa diri punya kelebihan, merasa diri menarik, dan merasa percaya diri.
5)
Kemampuan fisik
Mampu
melakukan sesuatu dalam bentuk aktivitas, dapat berprestasi dalam hal kemampuan
fisik.
Terdapat
beberapa cara untuk meningkatkan harga diri pada remaja, seperti yang
dikemukakan oleh Dariuszky (2004), yaitu : (1) berikan perhatian secara pribadi
disaat mereka membutuhkan; (2) perlihatkan kasih sayang dalam bentuk ucapan
maupun tindakan; (3) berikan pujian secara spesifik; (4) jelaskan apa yang baik
dan tidak baik; (5) lakukan sesuatu yang khusus supaya dapat memuaskan
kebutuhan atau memintanya dalam hal tertentu; (6) jelaskan dan tegaskan bakat
istimewa yang dimilikinya; (7) hargai prestasi baiknya mulai dari yang
sederhana dengan senyum dan pujian.
D.
PENUTUP
Semua orangtua tentu saja mengharapkan anaknya dapat tumbuh menjadi
manusia yang cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun harapan
tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dituntut kesabaran,
keuletan dan kesungguhan dari para orangtua agar harapan tersebut dapat
terwujud. Salah satu yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah menerapkan
gaya pengasuhan yang tepat agar anaknya dapat berkembang menjadi manusia dewasa
seperti yang diharapkan.
Gaya pengasuhan yang authoritative memang dikenal yang paling
ideal, tetapi mungkin adakalanya orangtua tak mampu menerapkan gaya pengasuhan
seperti itu dengan sepenuhnya terutama pada saat emosi orangtua sedang tidak
stabil. Misalnya, ketika sedang mengalami kondisi emosi yang tidak
baik/negatif, orangtua cenderung bersikap lebih otoriter terhadap anaknya. Atau
misalnya ketika orangtua sedang merasa senang karena usaha/bisnisnya berhasil,
maka orangtua cenderung bersikap agak permisif terhadap anaknya.
Kondisi ini, menurut Mayke (http://www.tabloidnakita.com/Khasanah/
khasanah 06279 - 08.htm), masih manusiawi karena memang emosi manusia cenderung
naik turun. "Yang penting, sikap orang tua masih dalam situasi terkontrol,
maksudnya segera menyadari dan kembali pada rambu-rambu yang telah
ditetapkan," tambahnya. Ada kemungkinan dalam kondisi tertentu orang tua
memang harus bersikap tegas bila berhubungan dengan keselamatan jiwa anak atau
orang lain. Misalnya ketika anak remaja sudah mulai mengikuti perilaku teman
yang berinteraksi denga narkoba. Bila hal ini didiamkan, tentu dapat
membahayakan jiwanya.
Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dalam rangka membentuk
harga diri positif para remaja, maka hal yang terpenting diketahui oleh para
orangtua bahwa seorang remaja lebih membutuhkan dukungan dari sekedar
pengasuhan, seorang remaja lebih membutuhkan bimbingan dari sekedar
perlindungan, seorang remaja lebih membutuhkan pengarahan dari sekedar
sosialisasi, dan seorang remaja dalam kehidupannya lebih membutuhkan perhatian
dan kasih sayang (kebutuhan psikis) daripada sekedar pemenuhan kebutuhan fisik
belaka.
Sources:
Amato,
P. & Ochiltree, G. 1986. Family resources and the development of child
competence. Journal of Marriage and the Family, 48, 47-56.
Ali,
M & Asrori, M. 2004. Psikologi Remaja : Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta : Bumi Aksara.
Anderson,
M. & Hughes, H. 1989. Parenting attitudes and self esteem of young
children. Journal of Genetic Psychology, 150, 463-465.
Axinn,
W. G., Barber, J. S., & Thornton, A. 1998. The long term impact of
parents childbearing decisions on childrenās self esteem. Demography, 35,
435-443.
Bamaca,
M. Y., Umafia-Taylor, A.J., Shin, N., &
Alfaro, E. C. 2005. Latino adolescentās perception of parenting behaviors
and self esteem : Examining the role of neighborhood risk. Family Relations,
54 (5), 621-632.
Barber,
B. K., Chadwick, B. A., & Oerter, R. 1992. Parental behaviors and
adolescent self esteem in The United States and Germany. Journal of Marriage
and the Family, 54 (I), 128-141.
Baumrind,
D. 1967. Child-care practices anteceding three patterns of preschool
behavior. Genetic Psychology Monographs, 75, 43-88.
Baumrind,
D. 1971. Current Patterns of Parental Authority, Developmental Psychology
Monographs. London : Foresman and Company, Glenview.
Baumrind,
D. 1991. The influence of parenting style on adolescent competence and
substance use. Journal of Early Adolescence, 11(1), 56-95.
Burn,
R.B. 1993. Konsep Diri : teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. Alih
bahasa oleh Eddy. Jakarta: Arcan.
Dariuszky,
G. 2004. Membangun Harga Diri. Bandung : CV. Pionir Jaya.
Demo,
D. H., Small, S. A., & Savin-Williams, R. C. 1987. Family relations and
tehe self esteem of adolescents and their parents. Jounal of Marriage and the
Family, 49, 705-715.
Frey,
D.C. 1994. Enhauching Selg Esteem. USA: Accelerated Development Inc.
Hertz,
L., & Gullone, E. 1999. The relationship between self esteem and
parenting style. Journal of Cross Cultural Psychology, 30 (6), 742-761.
Hurlock,
E.B. 1998. Perkembangan Anak. Alih bahasa oleh Soedjarmo & Istiwidayanti.
Jakarta: Erlangga.
Mappiare,
A. 1992. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Plunkett,
S. W., Henry, C. S., Robinson, L. C., Behnke, A., & Falcon III, P. C. 2007.
Adolescent perception of parental behaviors, adolescent self esteem, and
adolescent depressed mood. Journal of Child and Family Studies, 16, 760-772.
Pudigjogyanti,
Clara. R. 1995. Konsep Diri dalam Pendidikan. Jakarta : Arcan.
Rice,
F. P. 1996. The Adolescent: Development, Relathionship, and Culture. Massachusetts
: Allyn and Bacon
Santrock,
J.W, 1985, Adult Development and Aging, Iowa : Wm, C. Brown
Santrock, J.W. 2003. Adolescent. (7th Ed). USA: The Mc Graw Hill
Shaffer,
D. R. 2002. Developmental psychology : Childhood & adolescence (6th
ed.). Belmont, CA : Wadsworth/Thomson Learning, Inc.
Shek,
D. T. L. 2006. Perceived parent child relational qualities and parental
behavioral and psychological control in Chinese adolescents in Hongkong.
Adolescence, 41, 563-581.
Steinberg.
1993. Adolescence, Third Edition, New York: McGraw-Hill, Inc.
Stuart
& Sundeen. 1991. Principle and Practice of Psychiatric Nursing. 6th.
Ed. Philadelphia: The C V Mosby.
Thornburg,.
H.D, 1982. Development in Adolescence. California : Brooks/Cole
Pertengahan Juni 2011
Comments
Post a Comment