Studi Kasus: Manajemen Sumberdaya Keluarga pada Tipe Keluarga dengan Orang tua Tunggal Laki-laki



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Keluarga adalah suatu sistem yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berhubungan untuk mewujudkan satu fungsi tertentu, yang tidak saja bersifat alami tapi juga dibentuk oleh berbagai faktor atau kekuatan yang ada di sekitar keluarga, yaitu adanya nilai-nilai dan norma serta faktor-faktor lain yang ada di masyarakat (Guhardja, dkk 1992). Menurut Roopnarine dan Gielen (2005) keluarga adalah kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang ayah atau suami, ibu atau istri, memiliki peran sebagai orang tua bagi anak-anaknya.
Setiap keluarga memiliki sumberdaya masing-masing yang tidak sama antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Menurut Deacon dan Maloch dalam Gross Crandall dan Knoll (1973) sumberdaya merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui potensinya untuk memenuhi keinginan. Sumberdaya keluarga terdiri dari sumberdaya manusia, sumberdaya materi dan sumberdaya waktu. Ketiga jenis sumberdaya ini merupakan satu kesatuan sumberdaya total yang dimiliki oleh suatu keluarga dan merupakan suatu alat untuk mencapai tjuan keluarga yang diinginkan.
Sumberdaya ini perlu dikelola dan diatur sehingga dapat digunakan untuk mencapai tujuan keluarga, yang disebut juga dengan manajemen sumberdaya keluarga. Manajemen ini bertujuan untuk mencapai hasil sebaik-baiknya dengan sumberdaya yang sekecil-kecilnya. Manajemen sumberdaya keluarga ini penting untuk dilakukan karena berbagai faktor yaitu: a) Kehidupan yang semakin kompleks, misalnya susahnya mencari pekerjaan; persaingan yang semakin ketat untuk dapat memasuki sekolah-sekolah bagus; pencemaran udara dan air yang semakin tinggi, b) Ketidakstabilan dalam keluarga dimana terjadi berbagai perubahan dalam keluarga seperti: perubahan susunan anggota keluarga; peranan anggota keluarga; tata nilai dan tuntutan dalam keluarga serta interaksi dalam keluarga dan antara keluarga dengan lingkungannya, c) Perubahan peranan dalam sistem keluarga yang disebabkan oleh perubahan kebutuhan dan tuntutan dalam keluarga serta mobilitas  keluarga.
Ketika salah satu sumberdaya tidak dimiliki oleh keluarga maka pengelolaan dan pengaturan sumberdaya keluarga akan memiliki pola yang berbeda dengan keluarga lain yang memiliki sumberdaya yang cukup. Keluarga dengan orangtua tunggal akan memiliki pola manajemen sumberdaya yang berbeda dari keluarga dengan orang tua lengkap. Menurut Gunawan (2006) single parent adalah orang yang melakukan tugas sebagai orang tua (ayah atau ibu) seorang diri, karena kehilangan/ terpisah dengan pasangannya. Sementara menurut Sager (dalam Duval & Miller 1985) single parent adalah orang tua yang memelihara dan membesarkan anak- anaknya tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangannya.
Pada saat struktur keluarga berubah yang disebabkan karena perceraian atau kematian maka fungsi dan peranan keluarga dapat terganggu apabila anggota keluarga yang ada tidak dapat memainkan seluruh peran yang seharusnya tetap ada. Misalnya ayah keluarga tunggal tidak dapat menggantikan peran ibu bagi keluarganya, maka perkembangan anak-anak dapat terganggu. Jika kita lihat fungsi dari keluarga tersebut ternyata ada beberapa pendapat, diantaranya adalah menurut Friedman (1999), dimana fungsi keluarga terdiri dari lima yaitu:
1. Fungsi Afektif. Merupakan suatu basis sentral bagi pembentukan dan kelangsungan keluarga. Kebahagiaan keluarga diukur dengan kekuatan cinta keluarga. Keberhasilan melaksanakan fungsi afektif tampak kegembiraan dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga, tiap anggota keluarga mempertahankan hubungan yang baik.
2. Fungsi Sosialisasi. Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan sosial. Proses sosialisasi  dimulai sejak lahir. Keluarga merupakan tempat individu untuk belajar sosialisasi. Anggota keluarga belajar disiplin, belajar tentang norma-norma, budaya dan perilaku melalui hubungan dan interaksi dalam keluarga.
3. Fungsi reproduksi. Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia.
4. Fungsi Ekonomi. Merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.
5. Fungsi Perawatan Kesehatan. Keluarga juga berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan yaitu mencegah terjadi gangguan kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sakit. Kesanggupan keluarga untuk melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari kemampuan keluarga untuk mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan, memberikan perawatan, memelihara lingkungan dan menggunakan fasilitas kesehatan.
Sedangkan fungsi keluarga menurut BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) dibagi menjadi delapan. Fungsi keluarga yang dikemukakan oleh BKKBN ini senada dengan fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera dan menurut UU Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga yaitu:
1. Fungsi keagamaan, yaitu dengan memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.
2. Fungsi sosial budaya, dilakukan dengan membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
3. Fungsi cinta kasih, diberikan dalam bentuk memberikan kasih sayang dan rasa aman, serta memberikan perhatian diantara anggota keluarga.
4. Fungsi melindungi, bertujuan untuk melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
5. Fungsi reproduksi, merupakan fungsi yang bertujuan untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memelihara dan merawat anggota keluarga
6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, merupakan fungsi dalam keluarga yang dilakukan dengan cara mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya, menyekolahkan anak. Sosialisasi dalam keluarga juga dilakukan untuk mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik
7. Fungsi ekonomi, adalah serangkaian dari fungsi lain yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah keluarga. Fungsi ini dilakukan dengan cara mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa datang.
8. Fungsi pembinaan lingkungan
Perlmutter dan Hall (1985) menjelaskan bahwa menjadi orang tua tunggal berarti mengalami perubahan dimana perubahan ini dapat menimbulkan masalah, sebab seseorang yang semula berperan hanya sebagai ibu atau sebagai ayah saja, sekarang harus berperan ganda. Melakukan berbagai tugas yang semula dilakukan berdua akan membuat orang tua tunggal mengalami kelebihan tugas. Masalah hidup sehari-hari dapat mencemaskan individu. Permasalahan yang dihadapi, seperti masalah keuangan, perumahan, kesepian dimana individu tidak menemukan seseorang untuk menanggung beban bersama, keputusan dan tanggung jawab atas anak-anak, dan juga ketegangan tentang reaksi teman-teman dan kerabat mengenai bagaimana individu mengatasi hidup sendiri (Mitchell, 1996).
B.      Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memaparkan hasil wawancara yang ditujukan pada orangtua tunggal terutama single father. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner (terlampir) dan indepth interview untuk mengetahui karakteristik keluarga, manajemen sumberdaya keluarga, pola interaksi serta nilai-nilai apa saja yang dianut oleh keluarga pada tipe orangtua tunggal laki-laki.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.     Keluarga
Keluarga adalah suatu sistem yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berhubungan untuk mewujudkan satu fungsi tertentu, yang tidak saja bersifat alami tapi juga dibentuk oleh berbagai faktor atau kekuatan yang ada di sekitar keluarga, yaitu adanya nilai-nilai dan norma serta faktor-faktor lain yang ada di masyarakat (Guhardja, dkk 1992). Menurut Roopnarine dan Gielen (2005) keluarga adalah kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang ayah atau suami, ibu atau istri, memiliki peran sebagai orang tua bagi anak-anaknya.
Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat oleh perkawinan atau darah dan biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak atau anakanak. Keluarga sebagai sistem sosial terkecil mempunyai fungsi dan tugas agar sistem tersebut berjalan seimbang dan berkesinambungan. Peranan dan fungsi keluarga sangat luas dan sangat bergantung dari sudut dan orientasi mana akan dilakukan, yaitu diantaranya dari sudut biologi, sudut perkembangan, pendidikan, sosiologi, agama dan ekonomi. Majelis Umum PBB mengemukakan bahwa keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (Sunarti 2004).
Dalam keluarga, setiap anggota keluarga tersebut tentunya memiliki peran masing-masing, terutama peran penting ayah dan ibu sebagai orangtua. Menurut  Soekanto (1990), seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diharapkan mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang mantap. Sebagai seorang pemimpin  dalam rumah tangga, maka seorang ayah harus mengerti serta memahami kepentingan-kepentingan dari keluarga yang dipimpinnya. Ayah sebagai salah satu orang tua diharapkan untuk lebih terlibat dalam pengasuhan. Ayah tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab atas pengasuhan. Ia tidak hanya memasuki masa parenthood dengan adanya anak melainkan juga mempunyai hak dan kewajiban untuk menikmati dan mengurus anak.
Selain peran ayah, peranan ibu pada masa anak-anak sangatlah besar. Peran ibu hampir tidak dapat digantikan oleh orang lain dalam panggung kehidupan sehari-hari, sebab ibu merupakan mata rantai pertama yang menghubungkan anak dengan kehidupan dunia (Cause, 1994). Menurut Kartono (1992), tugas ibu adalah mendidik anaknya, sebab disamping pemeliharaan fisik, seorang ibu harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis anak, agar anak tersebut dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Ibu harus terus menerus melatih anaknya, agar mampu mengendalikan insting-instingnya untuk bisa menjadi manusia beradab.
B.      Sumberdaya Keluarga
Menurut Deacon dan Maloch dalam Gross Crandall dan Knoll (1973) sumberdaya merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui potensinya untuk memenuhi keinginan. Sumberdaya keluarga terdiri dari sumberdaya manusia, sumberdaya materi dan sumberdaya waktu. Ketiga jenis sumberdaya ini merupakan satu kesatuan sumberdaya total yang dimiliki oleh suatu keluarga dan merupakan suatu alat untuk mencapai tjuan keluarga yang diinginkan.
Manajemen Sumberdaya Keluarga
Perceraian
Pada tahun 2009, terdapat 250 ribu perkara perceraian. Jumlah tersebut sebanding beserta 10% mengenai angka pernikahan di tahun 2009. Kebanyakan kasus perceraian (70%) di pengadilan agama yaitu cerai gugat, dimana pihak istri yang menggugat cerai suaminya (Byarwati 2011). Prevalensi keluarga dengan orangtua tunggal menunjukkan suatu perubahan sosial yang paling signifikan dalam dekade ini. Proyeksi menunjukkan bahwa 40% anak-anak akan berada dalam keluarga dengan orang tua tunggal akibat perceraian, 12% akibat kelahiran sebelum menikah, 5% akibat berpisahnya orang tua, dan 2% akibat kematian orang tua (Deacon dan Firebough 1988 dalam Guhardja, dkk 1992).
Perceraian menurut Murdock, seharusnya dilihat sebagai sebuah proses seperti halnya perkawinan. Aktivitas itu terjadi karena sejumlah aspek yang menyertainya seperti emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku (Ihromi 2004). Namun dalam hal perceraian, Goode berpandangan sedikit berbeda. Dia berpendapat bahwa pandangan yang menganggap perceraian merupakan suatu “kegagalan” adalah bias, karena semata-mata mendasarkan perkawinan pada cinta yang romantis. Padahal semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari dua (2) orang yang hidup dan tinggal bersama di mana masing-masing memiliki keinginan, kebutuhan, nafsu serta latar belakang dan nilai sosial yang bisa berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan itu dapat memunculkan ketegangan-ketegangan dan ketidakbahagiaan yang akhirnya bermuara pada perceraian (Ihromi 2004).
Keluarga Tunggal
Menurut Karim, konsekuensi utama yang ditanggung oleh mantan pasangan suami-istri pasca perceraian adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship) (Ihromi 2004).
Goode mengamati proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal perubahan peran sebagai suami-istri dan memperoleh peran baru. Perubahan lain adalah perubahan hubungan sosial ketika mereka bukan lagi sebagai pasangan suami-istri. Penyesuaian kembali ini termasuk upaya mereka yang bercerai untuk menjadi seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban individu, jadi tidak lagi sebagai mantan suami atau mantan istri (Karim 2004).
Krantzler menyatakan perceraian bagi kebanyakan orang dipandang sebagai masa transisi yang penuh kesedihan, artinya masyarakat atau komunitas sekitar ikut berperan sebagai “wasit atau pengadilan” dalam menilai perceraian itu sebagai sesuatu yang “tidak patut” (Karim 2004).
Waller menilai pasca perceraian sebagai masa yang kurang dan hilang dalam kehidupan pasangan suami-istri yang bercerai. Seseorang pada masa ini dilanda perasaan “ambivalen” antara melihat perceraian sebagai sesuatu yang membahagiakan dan membebaskan dan munculnya rasa sedih mengenang kebersamaan pada masa-masa indah dulu (Karim 2004). Sementara, Scanzoni dan Scanzoni (lewat Karim) menilai setelah perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu menghampiri kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan rasa benci dan ketidaksenangan hidup bersama lagi (Karim 2004).
Terdapat dua hal utama yang menjadi fokus pengamatan Goode terhadap pasangan suami istri yang bercerai yaitu perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan sosial di mana mereka bukan lagi sebagai pasangan suami istri serta peran sebagai suami atau istri dan memperoleh peran baru (2004).
Mel Krantzler (Ihromi 2004), seorang konsultan masalah perceraian mengamati bahwa perceraian merupakan sebuah masa transisi yang penuh kesedihan. Masa penuh kesedihan atau kedukaan apabila dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat. Apabila masyarakat memandang perceraian sebagai sesuatu yang “tidak patut”, maka dalam proses penyatuan kembali, seseorang akan merasakan beratnya tantangan yang harus dihadapi karena perceraian. Scanzoni and Scanzoni kemudian membuat sintesa atas konsep-konsep pemikiran Krantzler (Ihroni 2004) dalam tulisan “creative Divorce”. Menurut Kranztler perceraian memberikan peluang kepada seseorang untuk memperoleh pengalaman-pengalaman serta kreativitas baru guna mengisi kehidupan menjadi lebih baik dan menyenangkan dari sebelumnya. Krantzler berpendapat bahwa perceraian tidak harus diartikan sebagai kegagalan yang membawa kesedihan bagi seseorang.
Ketiadaan partner tersebut menyebabkan kehidupan keluarga dengan orangtua tunggal pasti akan mengalami perubahan dan berhadapan dengan masalah-masalah baru yang harus diatasi oleh seorang diri pula. Glasser & Navarre (1999) melihat adanya perbedaan antara keluarga utuh dan keluarga single parent dalam beberapa hal, yaitu struktur tugas (seperti memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan sosial dari seluruh anggota keluarga), struktur komunikasi (bagi anak, orangtua berperan sebagai saluran komunikasi dengan dunia orang dewasa dalam dua cara, yaitu: sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang sebelumnya telah diinternalisasi oleh orangtua dan sebagai penghubung serta mewakili anak dalam dunia orang dewasa), struktur kekuasaan (dalam setiap situasi, orangtua tunggal akan dihadapkan pada pilihan untuk bekerjasama atau menentang si anak) dan struktur afeksi (dalam hal menyediakan dan mengatur kebutuhan emosional).
C.      Nilai dalam Keluarga
Crandall dan Knoll dalam Guharja (1992) menyatakan bahwa nilai dari segi sosial adalah kualitas dari suatu objek yang menyebabkan objek tersebut diinginkan dan dijunjung tinggi serta dianggap penting atau berharga. Nilai selalu penting bagi seseorang yang memegangnya. Akal dan perasaan merupakan  isi yang terkandung dalam nilai. Sehingga dalam konteks ini, nilai adalah sesuatu yang berharga, berarti, dijunjung tinggi dan didambakan oleh setiap anggota keluarga. Nilai ini merupakan sesuatu yang mendalam dan mengarahkan preferensi serta strategi individu dalam pencapaian tujuan. Contohnya orang yang menjunjung nilai kejujuran akan bertindak untuk mencapai tujuan dengan cara-cara yang jujur.
Orientasi dari suatu nilai adalah sistem nilai yang terintegrasi secara internal dalam individu/keluarga. Hal ini terlihat dalam memberikan penilaian (judgments) terhadap sesuatu; yang biasanya didasarkan pada perasaan (feelings) dan penalaran (thinking) yang merupakan produk dari kebudayaan yang terjadi dalam keluarga. Selain budaya faktor lingkungan dan teknologi juga berpengaruh terhadap penentuan nilai.
Ada beberapa nilai dengan berbagai kriteria berdasarkan ciri-ciri tertentu, diantaranya adalah:
-     Nilai Absolut vs. Nilai Relatif
Nilai Absolut adalah nilai yang tidak berubah dalam situasi apapun (dilihat sebagai hitam/ putih). Sedangkan nilai relative adalah nilai yang bisa diinterpretasikan berdasarkan konteks (abu-abu).
   Nilai Intrinsik vs. Nilai Ekstrinsik
Nilai intrinsik adalah nilai yang memiliki makna internal, sedangkan nilai ekstrinsik adalah nilai yang didapatkan maknanya dari orang atau sesuatu yang lain.
-     Nilai Tradisional, Personal, dan Profesional
Nilai tradisional adalah nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat banyak, sedangkan nilai personal adalah nilai yang dianut oleh seseorang (individu), dan nilai profesional adalah nilai yang dianut berkaitan dengan pekerjaan dan karier seseorang.
-     Nilai Umum vs. Nilai Spesifik
Nilai umum adalah nilai yang didapat sepanjang waktu dan menyangkut serangkaian berbagai tindakan, sedangkan nilai spesifik adalah nilai yang berkaitan dengan kepuasan terhadap pencapaian hasil dari satu tindakan.
Nilai-nilai yang dianut oleh suatu keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah gangguan pada keluarga/ masyarakat, perubahan budaya & teknologi, kejadian luar biasa (dramatic), serta ancaman lingkungan. Setiap keluarga memiliki berbagai macam sejumlah nilai yang dianut. Hal ini juga berpengaruh dengan tipe pada masing-masing keluarga. Keluarga yang memiliki orangtua lengkap akan berbeda dengan keluarga yang hanya memiliki satu orangtua (single parent). Bahkan orangtua tunggal yang disebabkan oleh perceraian akan berbeda dengan orangtua tunggal yang disebabkan oleh kematian.
D.     Interaksi dalam keluarga
Interaksi dalam keluarga merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan antara sesama anggota keluarga. Keluarga mempunyai sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan interpersonal, karena masing-masing anggota keluarga mempunyai intensitas hubungan satu sama lain dan saling tergantung. Interaksi tersebut dilakukan untuk saling tukar menukar informasi antar anggota keluarga dan sebagai sarana sosialisasi bagi anak dalam melatih tugas-tugas rumah tangga. Selain itu juga interaksi dilakukan untuk melakukan kerja sama dalam keluarga sehingga menjadi lebih efektif dan efisien.
Hambatan-hambatan komunikasi menurut Guharja (1992) adalah:
1. Perbedaan umur. Contohnya: komunikasi yang dilakukan oleh orangtua akan berbeda dengan yang disampaikan oleh anak yang baru berusia tiga tahun.
2.  Perbedaan jenis kelamin. Komunikasi antara ayah dengan anak perempuan akan berbeda dengan antara ayah dengan anak laki-lakinya.
3. Nilai yang dianut. Kalau ada perbedaan nilai yang dianut antara pemberi pesan dan penerima pesan, maka komunikasi terjadi kurang efektif.
4.  Perbedaan bahasa. Bahasa berperan sebagai alat dalam penyampaian pesan, jika antara pemberi dan penerima pesan kurang memahami satu sama lain bahasa yang digunakan, komunikasi akan terhambat.
5.  Perbedaan status sosial. Komunikasi antara orang-orang dalam status sosial yang sama akan lebih efektif jika dibandingkan dengan komunikasi antar orang-orang yang berbeda status sosial.
E.      Manajemen Keuangan Keluarga
Uang merupakan suatu sumberdaya dan sekaligus merupakan alat pengukur dari sumberdaya. Besarnya uang yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga menunjukkan berapa banyak sumberdaya uang yang dimilikinya. Dengan uang yang dimilikinya, seseorang atau keluarga dapat memenuhi keinginan mereka. Uang juga bisa digunakan sebagai pengukur/ nilai dari sumberdaya (Guharja 1992).
Pemilikan sumberdaya uang dalam suatu keluarga relatif terbatas, tergantung kepada jumlah dan kualitas orang yang berpartisipasi dalam pencarian pendapatan serta pemilikan aset lainnya. Sedangkan di lain pihak, keinginan dan kebutuhan setiap keluarga dan anggotanya relatif tidak terbatas, bahkan cenderung berubah dan bertambah banyak dari waktu ke waktu. Sehingga agar pemanfaatan sumberdaya uang yang terbatas tersebut mencapai optimum diperlukan usaha manajemen keuangan yang baik dan efektif. Hal ini untuk membantu menetapkan penggunaan sumberdaya yang terbatas untuk item yang disetujui oleh semua anggota keluarga.
Menurut Guharja (1992), rencana keuangan yang tertulis pada dasarnya dibuat untuk: (1) melindungi dari resiko keuangan, dan (2) mengakumulasi modal/ kekayaan. Kunci dari pembuatan rencana keuangan yang baik adalah identifikasi tujuan jangka panjang dan pendek. Tujuan janga panjang merupakan tujuan umum yang ingin dicapai oleh setiap keluarga atau individu dengan menggunakan sumberdaya uangnya pada periode satu tahun yang akan datang atau lebih. Sedangkan tujuan jangka pendek adalah kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan yang memerlukan sumberdaya untuk memenuhinya selama waktu kurang dari satu tahun. Tujuan jangka pendek ini harus konsisten dengan arah umum dari tujuan jangka panjang.
F.       Kesejahteraan Keluarga
Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 menyebutkan bahwa keluarga sejahtera merupakan keluarga yang dibentuk atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan serasi, selaras, seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan menurut Undang-Undang terbaru Nomor 52 Tahun 2009 menjelaskan bahwa yang disebut sebagai ketahanan atau kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.          
Sunarti (2008), menjelaskan kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan seseorang yang berasal dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diperoleh. Namun, kesejahteraan tersebut memiliki tingkatan yang bersifat relatif. Hal ini dikarenakan besarnya kepuasan yang diperoleh seseorang tergantung pada hasil mengkonsumsi pendapatan yang dimiliki tersebut. Sedangkan menurut Rambe (2004). Kesejahteraan juga merupakan suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan setiap warga negara usaha-usaha dalam memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, rumah tangga serta masyarakat.
Berdasarkan Sunarti (2008), Maslow’s Hierarchy of Needs menjelaskan bahwa konsep kesejahteraan keluarga merupakan keadaan atau kondisi dimana keluarga dapat memenuhi kebutuhannya, antara lain self actualization, esteem, belongingness and love, safety, dan physiological need.
Pengukuran tingkat kesejahteraan keluarga dapat dibedakan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan kesejahteraan objektif dan subjektif. Suandi (2007) mendefinisikan kesejahteraan objektif adalah tingkat kesejahteraan individu atau masyarakat diukur dengan rata-rata patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Salah satu ukuran baku yang digunakan adalah standar garis kemiskinan BPS. Garis kemiskinan didasarkan pada besarnya alokasi pengeluaran baik pangan maupun nonpangan yang dikeluarkan keluarga pada wilayah tersebut. Sedangkan kesejahteraan subjektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan orang lain. 
Penelitian Simanjuntak (2010) menjelaskan bahwa relasi gender yang semakin responsif dan tingkat stres ibu yang semakin rendah memberikan pengaruh langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan ekonomi keluarga yang semakin baik dan strategi koping yang semakin sedikit akan memberikan pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga subjektif.


BAB III
HASIL WAWANCARA
Latar Belakang Responden

Responden 1
Responden pertama adalah seorang karyawan swasta di Depok. Responden menikah pada tahun 1995 dan dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Pada tahun 2003 responden dan istrinya bercerai dengan alasan yang tidak diungkapkannya. Setelah bercerai responden sempat menikah dengan orang lain tapi pernikahannya tidak bertahan lama serta tidak dikaruniai anak. Setelah cerai dari istri yang ke dua, responden rujuk kembali dengan istri yang pertama, namun sayangnya mereka bercerai kembali hingga saat ini.
Sebagai karyawan swasta, responden bekerja setiap hari senin hingga jum’at. Untunglah anak-anaknya mulai beranjak remaja sehingga mereka bisa merawat diri mereka sendiri dengan baik. Pekerjaan rumah pun dilakukan bersama-sama baik membersihkan rumah, mencuci, maupun menyetrika. Terkadang nenek atau saudara responden datang membantu untuk meringankan pekerjaan rumah mereka.

Rasponden 2
Responden ke dua adalah seorang koki di salah satu rumah makan di Bogor. Dia menikah pada tahun 2000 dan ditinggalkan oleh istrinya pada tahun2006. Menurut kabar yang didapat dari tetangganya, sang istri meninggalkan rumah dengan pria lain tanpa alasan yang jelas. Pihak keluarga istri pun tidak mengetahui pasti motif dibalik kepergiannya, bahkan mereka tidak mengira perempuan itu akan berbuat nekad meninggalkan suami dan anaknya—yang pada saat itu berusia emapt tahun begitu saja tanpa pamit.
Kasus pada responden 2 statusnya dianggap sebagai duda cerai mati atau ditinggal meninggal, karena sang istri tidak menerima surat cerai sebagai bukti bahwa status mereka sebagai suami istri telah berakhir.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup pada keluarga responden 2 yang memiliki seorang anak perempuan, maka dia bekerja sementara anaknya yang masih memerlukan perhatian untuk memenuhi kebutuhannya maka sejak tidak ada peran ibu dalam keluarga, anak tersebut tinggal bersama bibinya (saudara perempuan responden) di Garut. Segala kebutuhan finansial anak ditanggung sepenuhnya oleh responden. Terkadang responden mengunjungi anaknya di Garut atau sang anak yang berkunjung ke rumah ayahnya pada saat liburan.


BAB IV
PEMBAHASAN

A.     Responden 1
Merujuk pada poverty line PBB yaitu US $ 1 per kapita per hari, maka kondisi sosial ekonomi responden dengan dua orang anak—berada di atas garis kemiskinan. Namun jika merujuk yang US $ 2 per kapita per hari, kondisi responden berada di bawah garis kemiskinan (jika nilai tukar rupiahnya Rp. 9.000 per dolar). Kondisi ini merupakan kondisi yang rentan karena jika ada sedikit saja masalah yang menimpa keluarga responden maka statusnya bisa jatuh pada kelompok sangat miskin. Apalagi tempat tinggalnya masih menyewa dengan kondisi dan kepemilikan properti yang seadanya.
Nilai-nilai yang dianut oleh responden adalah Benevolence/ Kebajikan atau perbuatan baik (kepedulian, kesetiaan, memaafkan), Universalism : Kesetaraan, keadilan, keharmonisan, memelihara lingkungan, Stimulation/ Stimulasi, petualangan, hal-hal yang membuat bersemangat, dan Hedonism/ Hedonisme atau kesenangan hidup. Sedangkan nilai-nilai yang kurang adalah Self-direction/ Pengaturan diri sendiri, kemandirian.
Interaksi yang dilakukan responden dengan anaknya terlihat cukup baik berupa curahan kasih sayang dan pengarahan. Responden juga berusaha menghindari dominasi dan permusuhan dengan anak-anaknya dan memilih mengalah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkannya tersebut terjadi.
Mengenai manajemen keuangan, responden melakukan perencanaan keuangan dengan baik rencana bulanan maupun harian, namun sayang responden tidak mencatatnya dengan baik. Meskipun demikian responden berusaha mempelajari cara memenej keuangan dengan baik serta selalu membuat perencanaan sebelum membeli sesuatu dan hanya membeli hal-hal yang dianggap penting saja. Selain itu meskipun penghasilannya selalu merasa kurang setiap bulannya, responden berusaha untuk tidak meminjam uang pada orang lain dan selalumelakukan evaluasi pengeluaran.

Secara subjektif, responden merasa sejahtera secara sosial dan psikologis namun merasa cukup dalam aspek fisik dan intelektual. Sedangkan dalam aspek lingkungan dan pekerjaan, responden merasa kurang sejahtera dan sangat ingin untuk memperbaiki keadaannya.
B.      Responden 2
Kondisi sosial ekonomi responden cukup baik dengan penghasilan sebesar dua juta rupiah yang termasuk kategori di atas garis kemiskinan (merujuk pada poverty line PBB yaitu US $ 1 atau 2 per kapita per hari). Selain itu responden memiliki aset rumah pribadi yang cukup luas yaitu tanah seluas 350m2 dengan luas bangunan 56m2. Namun karena responden bekerja di kota lain, maka responden tinggal di rumah petak yang tidak begitu luas. Properti lain yang dimilikinya berupa TV, telepon genggam, kompor gas, setrika, tempat tidur dan kasur. Barang-barang lain yang tidak dimilikinya dipandang kurang penting untuk membantu kehidupan sehari-harinya.
Nilai-nilai yang dianut oleh responden adalah Benevolence/ Kebajikan atau perbuatan baik (kepedulian, kesetiaan, memaafkan), Universalism : Kesetaraan, keadilan, keharmonisan, memelihara lingkungan, Stimulation/ Stimulasi, petualangan, hal-hal yang membuat bersemangat, dan Conformity/ Ketaatan, kesopanan, rasa hormat. Hal ini menunjukkan sikap responden yang mau memaafkan istrinya dan menerima kembali untuk menjadi ibu yang baik bagi anaknya. Responden tidak menyimpan rasa dendam, taat, sopan dan hormat pada sesama, serta berusaha untuk bersemangat dalam menjalani hidup menyongsong masa depannya.
Sedangkan nilai-nilai yang kurang adalah Self-direction/ Pengaturan diri sendiri, kemandirian, Hedonism/ Hedonisme, kesenangan hidup, Achievement/ Pencapaian pribadi, kesuksesan, diakui orang lain, Power/ Kekuasaan, serta Security/ Keamanan, keteraturan, kebersihan. Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak menyukai gaya hidup bersenang-senang yang sifatnya sesaat. Responden kurang berambisi untuk sukses dan memiliki kekuatan lebih, dia lebih senang berada dalam zona aman sejauh tidak membahayakan diri dan keluarganya.
Interaksi yang dilakukan responden dengan anaknya terlihat cukup baik berupa curahan kasih sayang, pengarahan, dan penghormatan. Meskipun dalam indepth interview terungkap bahwa responden merasa harus lebih meningkatkannya karena kondisi tempat tinggal yang terpisah dengan anaknya.
Mengenai manajemen keuangan, responden kurang melakukan perencanaan keuangan dengan baik, tidak mencatatnya, tidak menentukan standar maksimal pengeluaran, tidak melakukan evaluasi, serta tidak melakukan pengalokasian keuangan. Namun responden selalu membuat perencanaan sebelum membeli sesuatu dan hanya membeli hal-hal yang dianggap penting saja. Responden juga tidak melakukan pengeluaran berlebih karena suka membandingkannya dengan pendapatan yang diterima.
Secara subjektif, responden merasa sejahtera secara psikologis baik di lingkungan tempatnya tinggal dan di tempat kerja. Namun responden merasa tidak cukup baik secara fisik sosial dan intelektual.
 
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.     Kesimpulan
keluarga adalah kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang ayah atau suami, ibu atau istri, memiliki peran sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Setiap keluarga memiliki sumberdaya masing-masing yang tidak sama dengan keluarga lainnya. Menurut Deacon dan Maloch dalam Gross Crandall dan Knoll (1973) sumberdaya merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui potensinya untuk memenuhi keinginan. Sumberdaya ini perlu dikelola dan diatur sehingga dapat digunakan untuk mencapai tujuan keluarga, yang disebut juga dengan manajemen sumberdaya keluarga. Pola pengelolaan sumberdaya dalam keluarga berbeda berdasarkan tipe keluarganya—yang dalam laporan ini dibahas mengenai tipe keluarga orangtua tunggal laki-laki.
Ketiadaan partner atau istri dalam keluarga menyebabkan kehidupan keluarga dengan orangtua tunggal pasti akan mengalami perubahan dan berhadapan dengan masalah-masalah baru yang harus diatasi oleh seorang diri pula. Begitu pula dengan nilai-nilai yang dianut serta pola manajemen sumberdayanya.
Pada responden pertama, anak-anaknya mulai beranjak remaja sehingga mereka bisa mengurus diri mereka sendiri. Kehadiran saudara sedikitnya cukup membantu pekerjaan rumah tangga responden. Nilai-nilai yang dianutnya cukup baik dengan berusaha mencurahkan kasih sayang pada anak-anaknya. Sedangkan mengenai pola manajemen keuangannya terlihat baik terutama dengan dibuatnya perencanaan bulanan dan harian.
Sedangkan pada responden ke dua, pola pengasuhan anak dibantu oleh saudara perempuannya dikarenakan kesibukan responden sebagai koki yang menyita cukup banyak waktu. Namun, komunikasi dilakukan setiap hari untuk menjaga hubungan dengan anaknya. Nilai-nilai yang dianutnya cukup baik terutama benevolence atau kebajikan, bahwa responden memaafkan semua kesalahan istrinya dan akan menerima kembali ibu dari anaknya tersebut. Sedangkan nilai yang kurang pada responden dua adalah power, di mana responden merasa tidak berdaya untuk memperbaiki kondisi keluarganya yang istrinya entah di mana dan tinggal berpisah dengan anaknya.
B.      Saran
Saran pertama ditujukan pada responden pertama agar lebih mencurahkan waktu bersama dengan anak-anaknya. Meskipun mereka cukup mandiri dalam merawat diri dan membantu pekerjaan rumah, usia mereka yang memasuki masa puber harus diantisipasi dengan baik. Mereka tengah mencari jati diri dengan rasa ingin tahu yang sangat besar, tentunya butuh dukungan dan arahan terutama agar mereka menjunjung nilai-nilai yang baik dalam kehidupan.
Kemauan responden untuk mempelajari manajemen keuangan keluarga dengan baik merupakan upaya yang baik agar kondisi keuangannya terkontrol dan stabil. Agar lebih baik lagi mengingat kebutuhan hidup yang semakin bervariatif disarankan agar responden mengoptimalkan sumberdaya dan menggali sumberdaya lain sehingga bisa memperoleh tambahan penghasilan.
Saran kedua ditujukan pada responden ke dua bahwa bisa lebih bersikap menerima keadaan berpisah tempat tinggal dengan anaknya untuk dirawat oleh saudara perempuannya. Hal ini lebih baik daripada pengasuhan diserahkan pada pembantu, karena kasih sayang yang tercurah pada anak lebih akan lebih mendalam sebab ada hubungan kekerabatan. Atau bersikap terbuka menerima sosok perempuan lain untuk menjadi istri yang menerima keadaannya sebagai duda beranak satu.
Gaya komunikasi seorang ayah dan ibu berbeda. Berkomunikasi dengan anak bagi ayah tunggal mungkin memerlukan waktu, kesabaran dan kemauan untuk mendengar. sebagai ayah tunggal, maka ayah adalah satu-satunya orang tua yang mendukung anak dalam melakukan segala aktivitas mereka. Karena itu disarankan untuk lebih memanfaatkan kesempatan dalam berkomunikasi dan menemaninya memperkuat ikatan berbagi dengan anak.
Nilai hedonisme adalah nilai yang dihindari oleh responden ke dua, sehingga meskipun manajemen keuangannya tidak ditulis dan direncanakan dengan baik, responden mampu mengelola sumberdaya berupa gaji yang diterima dengan baik. Namun alangkah baiknya jika responden memiliki tujuan jangka panjang dan pendek yang jelas dalam mengelola keuangannya apalagi anak perempuannya beranjak remaja dengan kebutuhan yang lebih bervariasi dan bertambah sehingga bisa diantisipasi dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Byarwati A., dkk. 2011. Tatanan Berkeluarga dalam Islam. Lembaga Kajian Ketahanan Keluarga Indonesia. Jakarta
Duvall, E.M. & Miller, B.C. (1985). Marriage and family development. New York: Harper & Row Publishers.
Friedman. 1999. The Adult Learner Family in Home. http://www.pengantar pendidikan keluarga.co.id. Diakses
Goode. J., William. 2004. Sosiologi keluarga, (di-Indonesiakan oleh Lailahanoum Hasyim). Jakarta: Bumi Aksara.
Guhardja, S., dkk. 1992. Diktat Manajemen Sumberdaya Keluarga Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. IPB. Bogor.
Ihromi, T. O. 2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor.
Mitchell, A. (1996). Dilema perceraian. Alih Bahasa: Budinah Joesoef. Jakarta: Arcan.
Perlmutter, M. & Hall, E. (1985). Adult development and aging. New York: John Willey & Sons.
Roopnarine, J.L. & Gielen, U.P. (2005). Families in global perspective. Boston: Pearson Education, Inc.

Pengembangan Sumberdaya Keluarga
Bogor, January 2012
(Bunda Muthia & Tita H)

Comments