Filosofi Pendidikan Pragmatisme untuk Anak Usia Dini di Indonesia



PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usia dini merupakan fase paling penting dan mendasar dalam rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Masa ini ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamen dalam kehidupan anak yang menentukan bagaimana kehidupannya kelak di masa dewasanya atau yang disebut sebagai the Golden Ages atau periode keemasan, dimana semua potensi anak berkembang paling cepat. Oleh karena itu maka pengasuhan dan pendidikan yang tepat bagi anak usia dini sangat penting untuk dibangun. Pendidikan yang dapat mengembangkan segala potensi anak dengan cara dan metode yang sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya perlu menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan untuk anak usia dini.
 
Pendidikan Anak Usia Dini di Sekolah Karakter Cimanggis Depok
 Pemerintah (Kementerian Pendidikan Nasional) menyadari bahwa kualitas penyelenggaraan lembaga pendidikan anak usia dini di Indonesia masih rendah, dilihat dari aspek standar program yang diberikan, proses pembelajaran yang belum mengakomodasi kebutuhan anak dan kualitas serta kualifikasi tenaga pendidik anak usia dini yang masih tergolong rendah[i]. Oleh karena itu penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), play group, Bina Balita dan program pendidikan anak usia dini sejenis lainnya, seharusnya mempunyai tujuan yang jelas yang dilandasi oleh filosofi pendidikan dan kajian teoritis dan empiris tentang pendidikan anak usia dini yang benar.  
Filosofi pendidikan merupakan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang secara filosofis menjiwai, dan mendasari dan memberikan identitas (karakteristik) suatu sistem pendidikan. Filosofi yang dianut hendaknya memenuhi syarat-syarat berfikir secara kritis, sistematis menyeluruh dan mendalam.
Filosofi pendidikan juga merupakan kerangka landasan yang sangat fundamental bagi sistem pendidikan dan para pendidik. Kerangka filosofis memberikan gambaran tentang cara pandang guru terhadap pendidikan itu sendiri (termasuk di dalamnya kurikulum, tujuan pendidikan dan isi pendidikan), anak didik dan proses pembelajaran. Kerangka filosofis harus menjadi kerangka berpikir guru dalam menyelenggarakan praktek pembelajaran. Adapun landasan pedagogis memberikan sejumlah pemahaman konseptual dan praktis tentang bagaimana proses pendidikan itu terjadi dalam berbagai lingkungan, termasuk di dalamnya adalah pola pengasuhan anak, model, metode dan teknik pembelajaran, penggunaan media dan sumber belajar, penyusunan langkah pembelajaran dan penilaian yang mendidik.
Dari berbagai macam konsep cara pandang pelaksanaan pendidikan yang digagas oleh para filosof, salah satunya adalah konsep filosofis pragmatisme. Dengan tokohnya antara lain John Dewey dan Williams James.

Tujuan
Tulisan ini dibuat untuk memahami lebih lanjut salah satu konsep filosofis pendidikan yakni konsep pragmatisme. Selain itu juga untuk dapat melihat hal positif apa yang bisa diambil untuk kemajuan pendidikan anak usia dini khususnya di Indonesia.

Pendidikan Anak Usia Dini di Sekolah Karakter Cimanggis Depok

 PEMBAHASAN

Sejarah Pragmatisme
Aliran ini pertama kali tumbuh di Amerika pada tahun 1878. Ketika itu Charles Sanders Pierce (1839 – 1914) menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear” yang dimuat dalam Popular Science Monthly 12 (January 1878), 286-302. Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat di balik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
Pragmatisme sendiri lahir ketika William James membahas makalahnya yang berjudul ”Philosophycal Conceptions and Practical Result” (1898) dan mendaulat Pierce sebagai Bapak Pragmatisme. Selanjutnya aliran ini makin berkembang berkat kerja keras dari William James dengan berbagai karya tulisnya. Karya tulisnya itu antara lain adalah, “A Pluralistic Essay”, “Essay in Radical Empiricism”, “The Will to Believe”, dan “The Varieties of Religious Experience”. John Dewey juga ikut mengambil bagian dalam mempopulerkan aliran ini. Karya – karyanya antara lain adalah “Democracy and Education”, “Reconstruction in Philosophy”, “How We Think”, dan “Experience in Education”. Namun ia dan para pengikutnya lebih suka menyebut filsafatnya sebagai instrumentalisme (Syaripudin 2006).
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.

Konsep Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau praktek. Sedangkan isme berarti cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan dan segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan benar apabila teori itu bekerja. Ini berarti pragmatisme dapat digolongkan ke dalam pembahasan tentang makna kebenaran atau theory of thruth. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak.
Menurut aliran ini hakikat dari realitas adalah segala sesuatu yang dialami oleh manusia. Ia berpendapat bahwa inti dari realitas adalah pengalaman manusia. Ini yang kemudian menjadi penyebab bahwa pragmatisme lebih memperhatikan hal yang bersifat keaktualan sehingga berimplikasi pada penentuan nilai dan kebenaran. Dengan demikian nilai dan kebenaran dapat ditentukan dengan melihat realitas yang terjadi di lapangan dan tidak lagi melihat faktor–faktor lain misalnya dosa atau tidak.
Pragmatisme merupakan salah satu aliran filsafat yang anti metafisika. Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan ini berubah (becoming), hakikat segala sesuatu adalah perubahan itu sendiri. Manusia adalah hasil evolusi biologis, psikis dan sosial. Manusia dilahirkan dalam keadaan tidak dewasa dan tak berdaya, tanpa dibekali dengan bahasa, keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan atau norma-norma sosial. Hal ini mengandung arti bahwa setiap manusia tumbuh secara berangsur-angsur mencapai kemampuan-kemampuan biologis, psikologis, dan sosial. Sesuai dengan pandangannya tentang hakikat realitas, manusia dipandang sebagai makhluk yang dinamis, tumbuh dan berkembang. 
Pendidikan Anak Usia Dini di Sekolah Karakter Cimanggis Depok

Tokoh-tokoh Aliran Pragmatisme:
Meskipun tokoh-tokoh pragmatisme seperti Heraclitus, Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey.tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara mereka memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.

1.   Heraclitus[ii].
Dia lahir di abad keenam SM (535 –475 SM) di Kota Ephesus, Yunani (dekat Kusadasi, Turki-sekarang). Heraclitus bukan seorang yang pro sosial. Diogenes Laertius melaporkan bahwa Heraclitus menolak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik di Efesus.
Heraclitus penganut filsafat tidak "sekolah". Ini bukan sekadar akibat dari kepribadian anti-sosial, namun konsekuensi dari metode filosofisnya. Meskipun tidak sepenuhnya jelas, tampaknya bahwa Heraclitus mengajarkan bahwa untuk memahami dengan benar, hanya perlu untuk berlatih introspeksi. Diogenes Laertius mengatakan bahwa, "Heraclitus adalah murid tak bertuan, namun ia menyatakan bahwa ia bertanya pada dirinya sendiri, (Fr 101), dan belajar segalanya dari dirinya sendiri" (Lives 9. 5; see also Plutarch, Adv. Colot. 1118c).
Heraclitus mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah fluks atau perubahan; bertentangan dengan apa yang ada pada saat itu, tidak ada yang permanen, tetapi segala sesuatu secara konstan menjadi sesuatu yang lain atau keluar dari eksistensinya. Dalam karyanya “Cratylus”, Plato mengatakan Heraclitus percaya bahwa, "Segala sesuatu mengalir dan tidak ada yang tetap" (401d), setelah ini, Plato mengatakan, "Heraclitus seharusnya mengatakan bahwa segala sesuatu berada dalam gerakan dan tidak ada yang istirahat; dia membandingkannya dengan aliran sungai, dan mengatakan bahwa Anda tidak bisa masuk ke air yang sama dua kali" (402a). Heraclitus menggunakan sungai sebagai metafora untuk menggambarkan sifat dari segala sesuatu: permukaan sungai mungkin tampak menjadi entitas yang permanen dan stabil, tetapi pengamatan lebih dekat menunjukkan bahwa ia berubah secara terus-menerus, bukan ke sungai yang sama dari satu saat ke saat berikutnya.

2.   Charles Sanders Pierce[iii]
Pierce lahir di Cambridge, Massachusetts pada tanggal 10 September 1839, dan meninggal dalam usia 74 tahun di Milford, Pennsylvania pada tanggal 19 April 1914. Pierce adalah seorang Amerika yang sangat cerdas. Dia menguasai banyak disiplin ilmu. Dia seorang matematikawan, astronom, ahli kimia, geodesis, surveyor, kartografer, metrologis, spectroscopis, insinyur, penemu, psikolog, ahli bahasa, kamus, sejarawan sains, ekonom matematika, mahasiswa kedokteran seumur hidup, resensi buku, drama, aktor, penulis cerita pendek; fenomenolog, semiotika, logician, pidato dan metafisika.
Dia mengangkat istilah pragmaticisme pada tahun 1865 sebagai doktrin pragmatisme yang selanjutnya diumumkan pada tahun 1978. Ia menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun 2004). Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view (Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan, berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).
Dalam buku Pengantar Filsafat (Kattsoff 1992) dijelaskan bahwa, jalan pikiran Pierce tak lebih dari sebuah keinginan untuk mewujudkan pragmatisme sebagai ilmu yang mengorientasikan diri kepada makna praktis dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh sebuah tindakan. Jika tidak menimbulkan konsekuensi yang praktis maka tidak ada makna yang dikandungnya. Karena itu, muncullah sebuah semboyan bahwa, “Apa yang tidak mengakibatkan perbedaan tidak mengandung makna”.

3.   William James[iv]
James yang lahir di Amerika (1842-1910) adalah guru besar di Universitas Harvard dari tahun 1881 sampai tahun 1907. James banyak terpengaruh oleh C.S. Pierce. Hasil karyanya yang terkenal adalah “Pragmatisme” (1907). Tokoh ini juga berjasa dalam bidang lain, terutama dalam bidang psikologi. Hasil karyanya yang lain adalah bukunya yang berjudul “The Meaning of Truth”.
Dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Thruth (1909), James menyatakan bahwa, kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada ide. Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak statis dan tidak mutlak. Dengan demikian kebenaran adalah sesuatu yang bersifat relatif. Hal ini dapat dijelaskan dengan sebuah contoh ketika kita menemukan sebuah teori maka kebenaran teori masih bersifat relatif sebelum kita membuktikan sendiri kebenaran teori itu (Syaripudin 2006). Pragmatisme dipandang sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth.
Kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta.

4.   John Dewey.
Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme selain eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme karena memandang bahwa tujuan pendidikan bukanlah terminal, akan tetapi alat atau instrumen untuk mencapai tujuan berikutnya. Dan dikatakan eksperimentalisme karena untuk membuktikan kebenaran digunakan metode eksperimen. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah.
Instrumentalisme John Dewey (pragmatisme) sebenarnya mempunyai akar pada tokoh-tokoh filsuf yang mendahuluinya. Namun karena John Dewey adalah seorang empiris, maka filsuf-filsuf empiris Inggris justru mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan pemikiran Dewey sendiri. Metode instrumentalisme menjadi efektif untuk digunakan karena metodenya memperlakukan ide-ide untuk menyelesaikan persoalan-persoalan praktis. Penekanan Dewey dalam metode instrumentalismenya adalah pada praktek, yakni pada keterlibatan aktual atau partisipasi aktif dimana kita belajar dengan mengerjakannya (learning by doing).
Dalam bukunya Democracy and Education, Dewey menekankan pentingnya pendidikan karena berdasarkan tiga pokok pemikiran, yaitu (1) pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup, (2) pendidikan sebagai pertumbuhan, dan (3) pendidikan sebagai fungsi sosial. Yang menyebabkan pendidikan sebagai kebutuhan untuk hidup, adalah karena adanya anggapan bahwa selain pendidikan sebagai alat, melainkan juga berfungsi sebagai pembaharu hidup atau renewal of life. Hidup itu selalu berubah, selalu menuju kepada  pembaharuan. Hidup itu ialah a self renewing process through action upon environment. Pendidikan sebagai agen pertumbuhan terjadi bilamana mampu mengembangkan potensi anak yang tersembunyi yang disebut potensialitas pertumbuhan. Pendidikan berfungsi membantu anak untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang tersembunyi tersebut. Pendidikan memiliki fungsi sosial jika mampu mengembangkan jiwa sosial pada anak karena sebagai individu anak juga sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan individu lainnya. Oleh karena itu dalam hal ini pendidikan harus mampu memfasilitasi anak dalam melakukan proses sosialisasi sehingga dapat menjadi warga masyarakat yang diharapkan.

Arah Pendidikan Pragmatisme
Dunia akan bermakna hanya jika manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya, dan perubahan merupakan keniscayaan dari sebuah realitas. Manusia tidak akan pernah menjadi manusia yang sesungguhnya jika mereka tidak berkreasi terhadap dirinya.
Manusia adalah makhluk yang dinamis. Sepanjang hidupnya manusia akan terus-menerus berkembang sesuai dengan kemampuan dan kreasinya. Dalam perkembangan tersebut manusia membutuhkan orang lain, meniru, beradaptasi, bekerja sama dan berkreasi mengembangkan kebudayaan di tengah-tengah komunitasnya. Baik dan buruk suatu peradaban ditentukan oleh kualitas perkembangan manusia. Manusia yang berkualitas akan mewarnai peradaban yang baik. Sebaliknya, manusia yang tidak berkualitas akan mewariskan atau meninggalkan peradaban yang buruk.
Pendidikan yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan yang humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan “man is the meansure of all things” (Sadulloh 2003) akan sangat didukung oleh penganut aliran pragmatis, sebab hakekat pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia (Drost 1998).
Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Namun, pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu (Sadulloh 2003).
Jadi, baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalaman masa lalunya. Tak kurang dari John Dewey, seorang tokoh aliran pragmatisme yang mengorientasikan landasan metodologi dan kesimpulannya pada ilmu-ilmu sosial dan biologi (Sadulloh 2003) mengurai pentingnya pendidikan atas tiga pokok pemikiran, yaitu: a) pendidikan merupakan kebutuhan hidup. Maksud dari pernyataan itu adalah, selain sebagai alat, pendidikan juga sebagai pembaharuan hidup (a renewel of life). Tenaga yang dimiliki dan keberadaan lingkungan, dijadikan sebagai alat untuk perjuangan hidup. Tak ayal dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia selalu berinteraksi antara individu dengan lingkungan, dan pembaharuan hidup tidak lepas dari budaya atau selalu tergantung pada hasil budaya dan perwujudan moral kemanusiaan; b) pendidikan sebagai pertumbuhan. Maksudnya adalah pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup, dan pendidikan adalah hidup itu sendiri; c) pendidikan sebagai fungsi sosial. Arti dari pernyataan tersebut adalah, pendidikan diberikan untuk digunakan sebagai sarana meneruskan dan menyelamatkan cita-cita masyarakat. Karena itu, dalam hubungan sekolah sebagai fungsi sosial, keberadaan sekolah (sebagai alat transmisi), menurut Dewey (Sadulloh 2003) sekurang-kurangnya harus memiliki tiga fungsi, yaitu: 1) menyederhanakan dan menertibkan faktor-faktor bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang. Maksudnya, keberadaan sekolah (pendidik) hendaknya menjadi fasilitator terhadap perkembangan anak; 2) memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada. Maksudnya, sekolah hendaknya menjadi agen pelestari dan penyelaras kebiasaan (kebudayaan) masyarakat, serta menjadi alat pencerah terhadap kebiasaan masyarakat tersebut agar lebih siap menghadapi perubahan zaman; dan 3) menciptakan suatu lingkungan yang baik, serta lingkungan itu menjadi milik anak untuk dikembangkan. Artinya, sekolah hendaknya memiliki tanggung jawab menciptakan lingkungan yang baik, dan lingkungan yang baik itu selanjutnya diserahkan pengelolaannya kepada anak untuk dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan arah kehidupan masyarakat yang dikehendaki.

Implikasi Terhadap Pendidikan Anak Usia Dini
1.   Tujuan Pendidikan
Filsuf pragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan memungkinkan anak terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan pendidikan tersebut meliputi:
·                                        Kesehatan yang baik
·                                        Keterampilan-keterampilan dan kejujuran dalam bekerja
·                                        Minat dan hobi untuk kehidupan yang menyenangkan
·                                        Persiapan untuk menjadi orang tua
·      Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial.
Tambahan tujuan khusus pendidikan di atas yaitu untuk pemahaman tentang pentingnya demokrasi. Menurut pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial.
2.   Kurikulum
Menurut para filsuf pragmatisme, tradisi demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting tradition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikulum pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut akan berubah”. Kurikulum harus dapat mengakomodasi kebutuhan anak usia dini. Kebutuhan anak dulu sangat berbeda dengan kebutuhan anak sekarang, yang disebabkan oleh kemajuan di segala bidang kehidupan terutama teknologi informasi, dan lain-lain. Hal ini mengharuskan penyelenggara pendidikan harus dapat mengembangkan kurikulum sebaik mungkin sehingga dapat memenuhi kebutuhan siswa.
3.   Metode Pendidikan
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini mengharuskan guru harus berperan lebih kepada menjadi fasilitator ketimbang sebagai seorang guru yang diartikan selama ini sebagai seorang yang mengajarkan (atau “menyuapi”, men-drill) siswa dengan berbagai ilmu pengetahuan. Guru harus menjadi sahabat bagi siswa yang dapat memberi kesempatan, membimbing, berpandangan luas dan terbuka, antusias, kreatif, bijaksana, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar dia mampu menjadikan anak dapat belajar berdasarkan pengalaman dan membangun sendiri pengetahuannya. Menjadikan anak menjadi pembelajar sejati.
4.   Peranan Guru dan Siswa
Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan potensinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.
Untuk membantu siswa guru harus berperan:
a. Menyediakan berbagai pengalaman, melakukan field trips, menayangkan film-film, dan mengundang guru tamu ahli merupakan contoh-contoh aktivitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa.
b. Membimbing perencanaan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas guna memecahkan suatu masalah
c. Membantu siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah.
d. Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana mereka mempelajarinya, dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa.

Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa “Siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa”.
Callahan dan Clark menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan pragmatisme adalah progresivisme. Artinya, pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan.
Pendidikan Anak Usia Dini di Sekolah Karakter Cimanggis Depok

PENUTUP

Pragmatisme merupakan filsafat bertindak sehingga dalam menghadapi berbagai masalah, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuensi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.
Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi panjang lebar, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi (ini sekaligus termasuk kekurangannya juga, karena adakalanya diskusi itu penting dan perlu), melainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan  berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkret.
Jadi siswa sejak usia dini sudah terlatih untuk dapat mencari solusi atas permasalahannya. Mengajak siswa untuk belajar dari pengalamannya, menggali rasa ingin tau siswa dan membantu siswa untuk dapat membangun sendiri pengetahuannya. Membiasakan siswa untuk mengerti apa yang ia katakan serta dapat mengaplikasikan ilmu yang dia peroleh dalam kehidupannya sehari-hari. Keterampilan inilah yang dibutuhkan oleh siswa untuk dapat bertahan hidup di masa yang akan datang. Jadi diharapkan nantinya anak-anak itu akan tumbuh menjadi pemimpin yang tidak hanya mampu bicara saja, tapi dapat memberikan solusi yang tepat bagi permasalahan bangsa ini.
Indonesia sudah melahirkan begitu banyak orang-orang yang “berilmu” (paham dalam tataran teoritis), namun permasalahan bangsa ini sulit dicarikan jalan keluarnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh sistem pendidikan yang selama ini menekankan siswa untuk menghafal, sekedar tahu, dan mencapai nilai ujian setinggi-tingginya. Namun siswa tidak paham maksud dan aplikasi ilmu tersebut dalam kehidupannya. Bangsa ini sudah salah kaprah dalam memahami makna kecerdasan. Padahal orang yang cerdas itu pada hakekatnya adalah orang-orang yang dapat menyelesaikan masalahnya.

 DAFTAR PUSTAKA

Drost, J.I.G.M. 1997. Sekolah: Mengajar atau Mendidik: Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Jalaluddin dan Abdulloh Idi. 1997. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Penerbit Gaya Media Pratama. Jakarta.
Ismaun. 2004. Filsafat Ilmu. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Kattsof, Louis O. 1992. Pengantar Filsafat. Penerbit Tiara Wacana Yogyakarta. Yogyakarta.
Power, Edward J. 1982. Philosophy of Education. Prentice-Hall. Inc. New Jersey.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Alfabeta. Bandung.
Syaripudin, Tatang. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Percikan Ilmu. Bandung.



[i] Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Departemen Pendidikan Nasional.. 2007.
[ii] http://www.crandallu.ca/courses/grphil/Heraclitus.htm

Teori dan Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini
September 2011
(Bunda Muthia)

Comments

Post a Comment