Bijak Menyikapi Pelaporan Bullying


Di suatu pagi sesaat setelah paket internet diaktifkan, saya langsung mengecek pesan whatsapp (wa) yang masuk. Saya kaget mendapati salah satu pesan wa yang masuk. Dari salah seorang guru anak saya yang ke dua (anak tengah, usia 12 tahun). Pak Guru  meminta saya datang ke sekolah menemuinya untuk membicarakan sesuatu yang ingin disampaikan secara langsung. Saya sedikit shock dan bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan dengan si Tengah? Apakah berkelahi dengan temannya? Berbuat iseng yang membahayakan temannya? Saya bingung dan deg-degan. Saya segera membalas wa Pak Guru, "Baik Pak, insyaallah saya ke sekolah besok". 

Saya tidak bertanya lebih lanjut tentang hal apakah gerangan yang menyebabkan saya diminta untuk datang dan menemui Pak Guru. Saya berusaha memahami, bahwa masalah ini tidak bisa disampaikan by wa or by phone sekalipun, agar tidak terjadi salah paham. Namun dari seorang ibu siswa lain (sebut saja Ibu A) yang juga mendapat pesan wa yang sama dari Pak Guru, saya mendapatkan sedikit informasi. Ibu tersebut menyampaikan bahwa ada laporan dari orang tua siswa (sebut ibu B) ke guru tentang adanya bullying pada anak ibu B yang diduga dilakukan oleh anak ibu A dan anak saya si Tengah. Astaghfirullah, saya kaget dapat kabar itu. Ibu A yang mengirim pesan wa ke saya, yang anaknya juga disebut pelaku dalam pengaduan ibu B sangat shock. Kami sama-sama shock mendapat pesan wa tersebut. Namun saya berusaha menenangkan ibu A (sambil berusaha menenangkan diri sendiri) dengan mengirimkan pesan wa, agar kita nanti bisa hadir di seolah menemui Pak Guru dan mendengar cerita kejadian secara lebih jelas. Dan tidak dapat dipungkiri, hati saya ingin menyangkal laporan tersebut, karena saya merasa anak saya sudah saya didik dengan baik. Tetapi saya berusaha tetap objektif dan berdo'a memohon pada Sang Penguasa hati, bahwa hal ini hanya kesalahpahaman saja. Seraya menyiapkan diri jika anak saya memang terbukti bersalah. 

Pikiran saya langsung melayang pada kejadian dulu, yang mirip dengan hal ini. Di suatu siang saat jam kerja berlangsung, saya mendapat telpon dari guru si Sulung (saat itu usianya sekitar 10 tahun-an). Di ujung telpon ibu guru si Sulung melaporkan tentang kejadian, dimana anak saya menginjak kacamata temannya. Kacamata tersebut pecah dan framenya rusak. Saya shock mendapatkan telepon yang membawa kabar tidak mengenakkan itu. Saya mencoba meminta penjelasan lebih lanjut tentang kronologis kejadian tersebut. Dan ternyata sebelum menelpon saya, ibu guru belum mengkroscek kepada anak-anak tentang peristiwa yang terjadi. Dan pembicaraan pun berakhir, karena ibu guru minta waktu untuk mengkroscek pada anak-anak. Saya kecewa sekaligus kesal dibuatnya.  


Sumber: Bobo.grid.id

Saat itu otak saya berpikir keras mencoba membayangkan apa yang sudah dilakukan si Sulung? Bagaimana dia bisa menginjak kacamata temannya? Apakah kacamata temannya jatuh, kemudian si Sulung menginjak-injak kacamata tersebut? Aku berusaha menyangkal pikiran tersebut. Rasanya ga mungkin dia setega itu pada orang lain. I know  my son so well. Tapi saya berusaha menepis perasaan pembelaan yang muncul tersebut. Berusaha objektif menyikapi hal tersebut. Terkadang orang tua tidak tahu sikap dan perilaku anak saat di luar jangkauan dan pantauan orang tua. Pikiran saya terus mengira-ngira kejadian tersebut. Apakah dia merebut kacamata temannya kemudian membantingnya ke lantai dan menginjak-injak kacamata tersebut? Arggghhh ini lebih menyeramkan. Aku tidak sanggup membayangkannya. Hancur rasanya hatiku kalau hal tersebut benar-benar terjadi, rasanya aku menjadi orang tua terburuk di dunia. Ya Allah. Aku bingung. I am really shock. 😕

Beberapa jam kemudian, saya terhubung kembali dengan ibu guru. Tahu apa cerita ibu guru? Ibu guru menyampaikan, Si Sulung berlari-lari di kelas dengan beberapa temannya, dan naik ke atas bangku. Saat menginjak bangku, dia menginjak tas temannya yang ada di atas bangku itu, yang ternyata di dalamnya ada kacamata. Kacamata tersebut bukan kacamata minus tapi kacamata anti debu/angin yang biasa dipakai saat naik motor. Satu sisi saya lega dengan penjelasan ibu guru, namun di sisi lain saya kesal. Jika dari awal ibu guru sudah mengkroscek kepada anak-anak yang terlibat tentang kronologis kejadian, mungkin hal tersebut bisa diselesaikan bersama siswa tanpa perlu melibatkan orang tua. Hal-hal tersebut pastinya sering terjadi di sekolah. Namun karena mungkin sudah paranoid dengan "bully" atau juga mungkin karena sudah melabel anak sebagai siswa nakal maka hal kecil menjadi besar. Dan dampaknya jangan disepelekan, akan menimbulkan label negatif pada anak, yang bisa melekat sepanjang hidupnya, dan bisa melahirkan rasa benci.  

Di lain waktu, gurunya si Tengah menelpon saya. Di telepon ibu guru menyampaikan kalau ada orang tua siswa perempuan kelas lain yang melapor ke kepala sekolah kalau anak saya sudah memukul anak perempuan tersebut. Saya lagi-lagi bertanya kronologis kejadian, karena saya sudah berpengalaman dengan laporan-laporan para guru sebelumnya. Lagi-lagi guru ini tidak bisa menjelaskan secara rinci, yang menunjukkan anak saya bersalah. Saya menanyakan ke ibu guru, apakah ada saksi yang melihat kejadian pemukulan oleh anak saya? Apakah teman-teman yang bermain bersama ada yang melihat? Apakah sekolah punya CCTV yang bisa memantau semua kejadian? Gurunya tidak bisa menjelaskan. Sorenya sesampai saya di rumah, saya duduk ngobrol dengan si Tengah, dan bertanya tentang kegiatan sekolahnya hari itu. Dan saya berusaha menanyakan peristiwa ''pemukulan'' tersebut dengan hati-hati, menjauhi kata-kata menuduh dan mendakwanya, karena saya ingin mendapatkan jawaban jujur tanpa dia perlu takut menceritakan kejadian sesungguhnya. Berbekal ilmu perkembangan dan pengasuhan anak yang pernah saya dapatkan saat kuliah dulu, saya berusaha menyikapi kejadian ini dengan bijaksana. Dan saya berusaha untuk tidak terburu-buru melakukan pembelaan karena dia anak saya, atau karena setahu saya dia anak yang baik. Saya berusaha objektif menyikapi hal ini.

Setelah semua cerita berbagai versi ditampung, cerita kejadian tersebut adalah si Tengah (saat itu usia sekitar 8 tahun) saat itu bermain berlarian bersama teman-teman cowok sekelas di lapangan sekolah. Saat berlarian, tangannya mengenai siswi perempuan kelas lain yang juga bermain di lapangan. Namun karena mereka sedang berlari-lari berkejaran, kejadian tersebut terabaikan, dan terus lanjut bermain. Namun bagi siswi yang kena tadi, mungkin berasa sakit, dan mengadu pada orang tuanya di rumah. Namun dengan menggunakan kata memukul. Bisa dibayangkan berapa banyaknya siswa yang bermain di lapangan saat jam istirahat? Berlarian ke sana kemari, yang terkadang tanpa sadar menyenggol teman. Saya sampaikan kepada ibu guru, agar saya dapat dipertemukan dengan orang tua siswi yang melapor tersebut untuk meminta maaf sekaligus menjelaskan kronologis kejadian, biar dia paham. 

***********

Beberapa kejadian di atas menunjukkan bahwa masih ada guru dan orang tua yang ternyata belum paham apa itu bully? Mereka sepertinya menganggap bahwa setiap kejadian apapun yang merugikan atau pun menyakiti (dengan semua tingkat kesakitan) anaknya itu adalah bully. Ya ampun, bisa gawat kalau orang tua atau guru  pemahamannya seperti ini. Bisa-bisa para guru akan disibukkan dengan laporan bully setiap hari, dan tugas utamanya mengajar di kelas jadi terabaikan. 

Yuuk sekarang mari kita bahas sama-sama definisi bully.
Menurut Olweus (1994), bullying merupakan tindakan negatif yang dilakukan seseorang atau lebih yang dilakukan secara berulang dari waktu ke waktu. Menurut Tim (2008), bullying adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, mau pun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tidak berdaya. Sejalan dengan definisi di atas, Kementrian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (2020) dalam salah satu dokumennya menjelaskan tentang pengertian bullying (dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai “penindasan/risak”), yaitu segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus. Terdapat banyak definisi mengenai bullying, terutama yang terjadi dalam konteks lain seperti di rumah, tempat kerja, masyarakat, komunitas virtual. Namun dalam hal ini dibatasi dalam konteks school bullying atau bullying di sekolah. Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Jadi bisa disimpulkan bahwa tindakan kekerasan yang termasuk bully adalah yang dilakukan secara sengaja dan menyebabkan korban menjadi tertekan, trauma dan tidak berdaya. Kata kuncinya adalah kekerasan yang dilakukan secara SENGAJA, ada niatan sebelum melakukannya. 


************

Tulisan saya ini tidak hendak menganggap remeh bullying. Saya hanya ingin menggarisbawahi sikap terburu-buru para guru dan orang tua (yang sudah paranoid dengan bully) dalam menyikapi kejadian kekerasan yang terjadi. Semuanya seperti masuk dalam kategori bullying. Apalagi terkadang mereka tidak berusaha melakukan tabayyun atau croscek di awal, pada semua pihak yang terkait dengan kejadian. Terburu-buru dalam memvonis sebuah kejadian adalah bullying berikut dengan menjatuhi hukuman pada anak yang diduga pelaku, sama buruknya dengan akibat bullying itu sendiri. So, the keyword is crosschecking.

Seperti kisah seorang ibu yang mengirimkan video ke grup wa orang tua sebuah sekolah. Dalam video itu terlihat ibu yang memposting video tersebut sedang memarahi anaknya (yang diduga oleh sebagian besar ibu adalah pelaku bullying). Sebelum video tersebut dikirim ke grup, para orang tua ramai membicarakan anak tersebut di grup yang sama, tanpa mereka sadar ibu yang posting video ada dalam grup. Pastinya ibu tersebut hatinya panas, shock, bingung dan juga marah saat anaknya menjadi perbincangan para orang tua. Akhirnya video tersebut dia posting di grup. Mungkin dia bermaksud untuk memberitahu mama-mama di grup, bahwa dia juga mendidik anaknya, dan sudah menegur anaknya agar tidak melakukan perbuatan (yang dituduhkan) tersebut. Bisa jadi, tidak sedikit orang tua seperti ibu ini, yang tidak mampu menyikapi anaknya yang (dilaporkan dan dituduh) melakukan perilaku negatif. 

Wallaahualam bishowab. 

Referensi:
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/8e022-januari-ratas-bullying-kpp-pa.pdf diakses tanggal 19 Februari 2020.
Olweus, D. (1994). Bullying at School: What We Know and What We Can Do. Australia: Blackwell Publishing.
TimSejiwa. (2008). Bullying: Panduan bagi Orang Tua dan Guru Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan. Jakarta: Grasindo.



Jakarta, 19 Feb 2020
Saat mendapatkan kabar ''perginya" 
3 anak manusia ke haribaanNya,
dan 4 hari setelah WNI dari Cina yang dikarantina di Natuna
 dipulangkan ke kampungnya masing2
  

Comments