Etika Menitip Oleh-oleh

Menitip membelikan suatu barang atau oleh-oleh adalah suatu hal yang lumrah terjadi di masyarakat kita. Saat kita butuh suatu barang, dan orang lain entah teman atau saudara kita hendak pergi, kita biasa nitip untuk bisa dibelikan barang tersebut. Atau juga seringkali terjadi nitip beli oleh-oleh ketika teman atau saudara keluar kota atau ke luar negeri untuk urusan tertentu, seperti urusan kerjaan, bisnis atau pun dengan tujuan jalan-jalan, bahkan mungkin juga saat mereka beribadah Umrah atau pun Haji. 

Menitip membelikan barang sekarang ini bahkan sudah dikemas secara komersil. Banyak jasa penitipan barang yang beredar sekarang ini entah itu dari jasa profesional online atau pun jasa perseorangan yang kita kenal dengan istilah jastip. Menitip di sini tentunya tidak gratis ya, alias bayar pakai uang. Jadi menitip cara ini akan menjadi banyak pertimbangan pastinya untuk dipilih. 

Suatu kali saya mendapat tugas dari kantor untuk ke luar kota. Di sana menurut cerita ada makanan yang terkenal enak dan sudah ada juga teman lain yang membawanya sebagai oleh-oleh ketika balik pulang. Tiba-tiba sehari sebelum berangkat, sudah ada seorang teman yang membuat list di whatsapp group dengan judul: "Siapa yang mau xxxxx (oleh-oleh yang dimaksud)", trus di bawahnya sudah ada no 1, 2, 3 dan seterusnya. Awalnya saya ga ngeh, oleh-oleh dimaksud dibeli dimana dan sama siapa. Ketika teman lain komen dan bertanya, baru saya sadar bahwa yang dimaksud adalah oleh-oleh dari kota dimana saya ditugaskan. Kaget donk saya pastinya. Dan memang betul, saya ke kota tersebut bersama dua teman yang lain, dan mungkin si teman yang share list tersebut sudah koordinasi dengan teman lain yang juga akan berangkat. Begitu pikir saya kemudian, dan menepis rasa kaget tersebut. 

List yang mau oleh-oleh tersebut dia sebutkan hanya dengan kuota 10 saja. Akhirnya ada beberapa yang tidak kebagian kuota dan langsung japri ke teman lain yang akan bertugas juga. Alhasil ada belasan orang yang nitip oleh-oleh dimaksud. 

Saya tentu saja surprise dengan cara menitip seperti tersebut. Tapi lagi-lagi saya berusaha berpikiran positif saja. Sudah ada omongan sebelumnya. Sudah ada akad. Dan pihak-pihak sudah setuju.

Alhasil, saat berada di kota tujuan, kami melaksanakan tugas sebagaimana yang sudah diinstruksikan. Setelahnya lanjut mencari oleh-oleh untuk belasan yang menitip. Ternyata di lapangan baru ketahuan bahwa koordinasi dan akad tidak dilakukan secara benar. Oleh-oleh tersebut tidak diketahui harus dibeli dimana, dalam bentuk seperti apa. Sehingga mulai sedikit drama. Berlanjut saat kemudian oleh-oleh diperoleh, tapi uang kita ga diterima, karena dianggap sebagai hadiah atau buah tangan dari orang daerah yang menemani kami selama di sana. Tentunya saya merasa tidak nyaman, karena jumlah yang kami bawa banyak, itu pun kami minta dengan jumlah sekian. Setelah agak eyel-eyelan, tetap saja kami tidak dibolehkan bayar. Saya bener-bener merasa tidak nyaman. Kalau jumlahnya 1 atau 2 ok lah saya terima. Kalau belasan, gimana coba? Mana harga satuannya saja puluhan ribu. Akhirnya kami balik ke penginapan dengan perasaan ga enak. 

Gambar hanya Ilustrasi. Sumber: https://nahwatravel.co.id/


Drama belum berhenti. Karena kami balik besok siangnya, jadi oleh-oleh tersebut harus disimpan dalam freezer. Kami bingung, mo titip simpan di hotel 2 box besar begitu apa boleh? Tambah lagi packingan dari penjual belum ready untuk diangkut ke luar kota naik pesawat. Akhirnya, pendamping dari daerah menawarkan diri untuk mengemasnya agar aman dibawa dan disimpan di freezer mereka. Lagi-lagi perasaan saya ga nyaman. Saya paling anti nyusahin orang lain. Saya paling tidak mau merepotkan orang lain. Tapi kali ini, saya merasa ga punya harga diri. 

Besok siang, kami siap-siap ke Bandara. Dan pendamping kami orang daerah setempat membawakan oleh-oleh pesanan teman-teman dalam 2 box dengan total berat 15kg. Pendamping tersebut ternyata  tidak hanya bantu simpan dan packing, tapi juga mengurus dokumennya ke Karantina setempat, agar oleh-oleh dimaksud mudah masuk bagasi dan tidak terkena halang petugas. 

Saat check in dan barang masuk bagasi, box tersebut diminta petugas untuk di wrapping. Akhirnya kami menuju tempat wrapping, dan kena charge 100 ribu rupiah untuk 2 box. 

Sampai kembali ke kota kami, dua orang teman saya dari Bandara ke kantor dulu untuk mengantarkan pesanan teman-teman. Karena kalau dibawa pulang dulu tidak muat disimpan di frezeer dan besoknya repot lagi bawa ke kantornya (harus menggunakan motor/mobil pribadi, tidak bisa pakai angkot/bus). Sementara saya memutuskan langsung pulang ke rumah. Oh iya, ternyata uang untuk membeli oleh-oleh tersebut pun ada yang belum memberikan teman-teman. Katanya mau transfer, tapi belum. Dan ternyata kan berdrama juga terkait pembayaran.

******

Buat teman-teman pembaca, semoga dapat mengambil hikmah dari pengalaman ini, bagaimana seharusnya menitip beli oleh-oleh. Bagaimana etikanya? Apakah yang dititipkan tidak berkeberatan? dan seterusnya. Jangan kita membebani seseorang. Apalagi mereka pergi bukan dalam rangka senang-senang, jalan-jalan, yang waktunya cukup. 


Awal Juni 2024
Indonesia memperingati Hari Lahirnya Pancasila




Comments

Popular Posts