Peranan Kelekatan (Attachment) terhadap Peningkatan Sumberdaya Manusia



Saat ini sumber daya manusia telah menjadi pusat perhatian bagi pembangunan di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pemikiran kontemporer mengenai pembangunan telah menempatkan kembali manusia sebagai subyek atau pusat dari proses pembangunan. Sebelumnya pembangunan seringkali diasosiasikan dengan perkembangan, modernisasi, bahkan westernisasi yang semuanya bersifat materialistik.
Sumber daya manusia didefinisikan sebagai potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan[1].
Dalam Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para Kepala Negara dan perwakilan dari 189 negara dalam sidang Persatuan Bangsa-Bangsa di New York pada bulan September 2000 ditegaskan kepedulian utama masyarakat dunia untuk bersinergi dalam mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals-MDGs) pada tahun 2015. Dimana tujuan MDGs menempatkan manusia sebagai fokus utama pembangunan yang mencakup semua komponen kegiatan yang tujuan akhirnya ialah kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan hal ini, Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 , Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan 2010-2014, serta Rencana Kerja Tahunan.[2]
Sebagai indikator pembangunan manusia, UNDP telah mengembangkan Human Development Index (HDI) yang mencakup 3 komponen dasar yang secara operasional dapat menghasilkan suatu ukuran untuk merefleksikan upaya pembangunan manusia di suatu wilayah, yaitu:
  1. peluang hidup (longevity) yang diukur berdasarkan rata-rata usia harapan hidup,
  2. akses terhadap pengetahuan (knowledge) yang diukur berdasarkan presentase kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat partisipasi bersekolah yang diperoleh dari rasio gabungan pendaftaran bersekolah dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas.
  3. standard hidup yang layak (decent living) yang diukur berdasarkan pendapatan per kapita dalam paritas daya beli dalam dollar AS.
Dari data yang dikumpulkan tahun 2007 sebelum terjadinya krisis keuangan global, UNDP mengumumkan peringkat pembangunan manusia di 182 negara, dimana Norwegia tetap menempati peringkat ke-1 (dengan indeks 0.971) dan Republik Niger menempati peringkat ke-182 (dengan indeks 0.340). Dan Negara Indonesia berada pada peringkat 111 dan berada dalam kategori Menengah seperti tahun sebelumnya.[3]

Indikator-indikator HDI yang dirumuskan oleh UNDP dan definisi sumberdaya manusia, menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia sangat dipengaruhi oleh bagaimana tumbuh dan berkembangnya seluruh aspek perkembangan manusia baik fisik, kognitif, emosi, sosial, psikologis, mental dan spiritual. Dan hal ini sangat berkorelasi dengan bagaimana pola pengasuhan dan pendidikan yang diperoleh seseorang saat masih kecil. Keluarga, dalam hal ini orang tua atau keluarga batih, memiliki peranan yang sangat penting dalam melakukan pengasuhan dan pendidikan terhadap anak-anaknya sehingga pertumbuhan dan perkembangannya dapat berlangsung secara optimal. 
Seorang anak akan mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal jika kebutuhan dasarnya terpenuhi, misalnya kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan psikologis berupa dukungan, perhatian dan kasih sayang. Orang tua dan keluarga besar yang ikut berperan dalam pengasuhan anak hendaknya memiliki pemahaman dan kesadaran tentang cara pengasuhan yang baik, sehingga nantinya dapat terwujud cita-cita akan lahirnya manusia-manusia baru yang tidak hanya sehat, tapi cerdas dan berakhlak mulia.
Dalam proses tumbuh kembang anak dikenal adanya sebuah hubungan kelekatan (attachment) yang didefinisikan oleh Ainsworth sebagai ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu (Hetherington dan Parke dalam Ervika, 2000)
Kelekatan ini menjadi sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Dia menjadi dasar bagi berkembangnya kepribadian yang sehat. Kelekatan akan mempengaruhi kemampuan kognitif, perkembangan hati nurani, coping skills (frustasi dan stress), perkembangan hubungan, kemampuan untuk menangani ancaman dan emosi negatif. Menurut Bowlby kelekatan yang dibentuk saat kanak-kanak sangat berpengaruh terhadap masa dewasa (Semiun, 2006). Kelekatan antara ibu dan bayi menentukan kemampuan bayi untuk membangun kelekatan di masa yang akan datang (Sinclair, 2009)
Menurut Ainsworth (Belsky 1988 dalam Ervika, 2000) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh di tahun-tahun awal kehidupannya. Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe, 2002).
Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai dirinya dan orang lain yang akan akan menjadi mekanisme penilaian terhadap penerimaan lingkungan (Bowlby dalam Pramana 1996). Anak yang merasa yakin terhadap penerimaan lingkungan akan mengembangkan kelekatan yang aman dengan figur lekatnya (secure attachment) dan mengembangkan rasa percaya tidak saja pada ibu juga pada lingkungan. Hal ini akan membawa pengaruh positif dalam proses perkembangannya.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki kelekatan aman akan menunjukkan kompetensi sosial yang baik pada masa kanak-kanak (Both dkk dalam Parker, Rubin, Price dan DeRosier, 1995) serta lebih populer di kalangan teman sebayanya di prasekolah (La Freniere dan Sroufe dalam Parker dkk, 1995). Anak-anak ini juga lebih mampu membina hubungan persahabatan yang intens, interaksi yang harmonis, lebih responsif dan tidak mendominasi (Parker dan Waters dalam Parker dkk,1995). Sementara itu Grosman dan Grosman (Sutcliffe, 2002) menemukan bahwa anak dengan kualitas kelekatan aman lebih mampu menangani tugas yang sulit dan tidak cepat berputus asa.
Pentingnya kelekatan ini tidak hanya menjadikan seseorang memiliki kepribadian yang sehat bahkan dapat juga memiliki religiusitas yang matang. Menurut TenElshof dan Furrow dalam Hart, Jonathan T., Limke, A., Budd, P. R. (2010), kelekatan aman merefleksikan kematangan spiritual. Dan beberapa penelitian  sekarang ini menunjukkan bahwa kelekatan anxiety dapat memprediksi perkembangan keimanan seseorang.
Pengasuhan yang tidak menyenangkan akan membuat anak tidak percaya dan mengembangkan kelekatan yang tidak aman (insecure attachment). Kelekatan yang tidak aman dapat membuat anak mengalami berbagai permasalahan yang disebut dengan gangguan kelekatan (attachment disorder). Telah disebutkan di atas bahwa gangguan kelekatan terjadi karena anak gagal membentuk kelekatan yang aman dengan figur lekatnya. Hal ini akan membuat anak mengalami masalah dalam hubungan sosial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami gangguan kelekatan memiliki orang tua yang juga mengalami masalah yang sama di masa kecilnya (Sroufe dalam Cicchetty dan Linch, 1995). Hal ini menjadi sebuah lingkaran yang tidak akan terputus bila tidak dilakukan perubahan.
Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai diri dan orang lain yang akan akan menjadi prototip dalam hubungan sosial (Bowlby dalam Pramana 1996). Model ini diasumsikan bekerja di luar pengalaman sadar (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Pengetahuan anak didapatkannya dari interaksi dengan pengasuh, khususnya ibu. Anak yang memiliki orang tua yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan mengembangkan model hubungan yang positif yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Selanjutnya secara simultan anak akan mengembangkan model yang paralel dalam dirinya. Anak dengan orang tua yang mencintai akan memandang dirinya “berharga”. Model ini selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari orang tua pada orang lain, misalnya pada guru dan teman sebaya. Anak akan berpendapat bahwa guru dan teman adalah orang yang dapat dipercaya. Sebaliknya anak yang memiliki pengasuh yang tidak menyenangkan akan mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebagai anak yang pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan sosial.
Kelekatan tidak hanya mempengaruhi kepribadian seseorang yang menjadi modal penting baginya dalam hubungannya dengan orang lain, namun juga mempengaruhi perkembangan kognitif. Kelekatan akan mempengaruhi perkembangan otak, yang nantinya secara tidak langsung akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan intelektual seseorang. Potensi ini merupakan modal yang sangat penting selain kepribadian yang baik dalam menghadapi kehidupan yang semakin kompleks. Trevarthen (1993) dalam Schore (2001) menjelaskan bahwa pertumbuhan otak bayi sangat membutuhkan interaksi antar otak dan berlaku dalam konteks hubungan afektif yang positif. Interaksi antara otak (bayi dan ibu) akan terjadi selama proses kelekatan berlangsung; adanya komunikasi face to face, tatapan mata, ucapan, gerakan tangan bahu dan kepala serta seluruh tindakan yang menunjukkan perhatian dan emosi interpersonal.
Banyak penelitian yang telah menunjukkan begitu pentingnya kelekatan dalam menciptakan manusia yang tidak hanya cerdas tapi juga sehat dan berakhlak mulia. Untuk itu kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas perlu menjadikan hal ini sebagai bagian dalam proses kebijakan terhadap program-program peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Pemerintah atau pun pihak-pihak yang berkepentingan  lainnya perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas di seluruh lapisan  tentang pengasuhan anak yang baik. Kegiatan ini bisa disisipkan di beberapa program kesehatan atau pun pendidikan yang sudah berlangsung. Sehingga nantinya akan lahir generasi yang sehat, cerdas dan berakhlak mulia yang mampu mewarisi bumi ini dengan baik.

Literatur
Ervika, Eka, (2000). Kualitas Kelekatan dan Kemampuan Berempati pada Anak. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Hart, Jonathan T., Limke, A., Budd, P. R. 2010. Attachment and faith development. Journal of Psychology and Theology   
Hetherington, E.M & Parke R.D.,(Ed). 1999. Child Psychology : A Contemporary View Point. Fifth Edition. Mc Graw-Hill College
Mc Cartney, K. & Dearing, E., (Ed). (2002). Child Development. Mc Millan Refference USA
Parker, J.G., Rubin, K.H., Price, J.M., DeRosier, E.M. 1995. Child Development and Adjustment : A Developmental Psychology Perspective dalam Cicchetty,D & Cohen, D.J., Developmental Psychopatology Volume 2. Risk Disorder and Adaptation. Halaman 96-161. John Willey and Sons Inc
Pramana, W, (1996). The Utility of Theories of Parenting, Attachment, Stress and Stigma in Predicting Adjustment to Illness. Desertasi. Departement of Psychology the University Of Queensland.
Schore, A.N. 2001. Effects of a Secure Attachment Relationship on Right Brain Development, Affect Regulation, and Infant Mental Health. Infant Mental Health Journal, Vol. 22 (1-2), 7-66 (2001)
Semiun, Y., OFM. 2006. Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Kanisius. Yogyakarta
Sinclair, C. 2009. Buku Saku Kebidanan. EGC. Jakarta
Sroufe, L.A., (2003). Attachment Categories as Reflection of Multiple Dimensions : Comment on Fraley and Spieker. Journal of Developmental Psychology Vol 39, No 3, 413-416. American Psychological Association Inc
Sutcliffe, J., (2002). Baby Bonding, Membentuk Ikatan Batin dengan Bayi. Jakarta: Taramedia & Restu Agung


[1] http://id.wikipedia.org/

[2] http://www.bappenas.go.id/node/118/2769/laporan-pencapaian-mdgs-indonesia-2010/


[3] http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4077&Itemid=29

Tulisan ini dibuat pada tahun 2010
salah satu tugas MK Teori Perkembangan Anak
Dosen Ratna Megawangi, PhD

Comments