Bersekolah di Pesantren (Bagian 1)

Kemaren malam, adalah waktu kembalinya santri kelas 9 untuk kali terakhir ke pondok, sebelum mereka tamat di level SMP. Sulungku, tanpa banyak alasan lagi terlihat ikhlas dan semangat mempersiapkan semua perlengkapannya untuk balik ke pondok malam itu. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, bahkan hari-hari balik ke pondok saat dia masih di kelas 7 dan 8, yang penuh dengan drama dan terkadang air mata. 

"Abang tinggal dua pekan lagi di pesantren, setelah itu abang bebas,"serunya dengan rasa senang.

Ah nak, tahu kah kamu, perasaan bunda campur aduk melihat ekspresimu. Tidak kah kamu bahagia selama tiga tahun di pesantren? Sebegitu menderitanya kah kamu di sana? 

"Äbang kayak di penjara Bun, pulang sekolah ga bisa main kemana-mana,'' jelasnya tanpa diminta.
''Loh, bukannya setelah belajar usai, kalian bebas bermain sampai waktu maghrib tiba?" tanyaku.
''Iya sih, tapi aku maunya main ke luar pesantren, menikmati suasana lain".
"Tapi kelak abang pasti akan merindukan pesantren, para ustadz dan teman-teman", lanjutku.
"Iya mungkin Bun," jawabnya 

Itu sedikit dialog yang terjadi antara aku dengan si Sulung yang sebentar lagi mau kembali ke pondok untuk yang terakhir kalinya. 

******

Ingatanku kembali ke masa tiga tahun yang lalu, saat pertama kali mengantar Sulungku ke pondok pesantren. 

Semua perlengkapan dan kebutuhannya selama sekolah di pesantren sudah jauh-jauh hari dipersiapkan. Tepat tanggal 16 Juli 2017, kami sekeluarga di pagi menjelang siang itu berangkat ke pondok pesantren untuk mengantar si Sulung yang dipanggil Abang di rumah. Semua pakaian (baju, celanan, pakaian dalam) sudah disiapkan dalam tas koper; perlengkapan mandi seperti sabun mandi, sabun cuci, shampoo, termasuk ember dan gayung; semua buku dan alat tulis lainnya; dan lain-lain sudah siap. 

Saat itu kepala saya sakit sekali, dan tidak reda meskipun sudah minum obat. Tapi saya tetap memaksakan diri mengantar Abang ke pondok. Setelah sampai dan memindahkan semua perlengkapannya ke lemari yang ada di kamarnya di pondok yang akan dia tempati, kami belum segera pulang. Abang belum mau langsung ditinggal, walaupun hari sudah mulai sore dan gelap karena hujan. Sebetulnya perasaan sedih sempat menguasai diri ini, dan hampir saja air mata tumpah saat ngobrol bersama Abang sebelum meninggalkannya. Namun saya segera tersadar dan menguasai diri. Orang tua mana sih yang tidak sedih, meninggalkan anaknya hidup di pondok pesantren, jauh dari orang tua, dimana si anak juga belum mandiri secara penuh? Karena kepala yang masih sakit, membuat saya tidak kuat berlama-lama di pondok untuk menemaninya, dan akhirnya saya minta ijin ke abang untuk dapat segera pulang. Akhirnya kami semua pulang meninggalkannya di pondok. 

Sampai di rumah badan saya mulai panas. Saya demam dan menggigil. Besoknya periksa ke dokter dan ternyata, thypus saya kambuh.

Ada untungnya saya sakit, karena saya jadi tidak fokus dan kepikiran Abang terus, yang bisa membuat saya sedih dan menangis lagi. Walaupun saya sudah jauh-jauh hari menimbang segala konsekuensi menyekolahkan anak di pondok, dan menyiapkan diri untuk itu, tetap saja perasaan sedih itu menyeruak tiba-tiba. 

******


Saat Abang duduk di kelas 5 SD, kami sudah mengenalkannya dengan pondok pesantren. Di awal kami perlihatkan video berbagai pondok pesantren yang ada di youtube. Kami perlihatkan pondok-pondok dimana beberapa kakak sepupunya bersekolah di tempat tersebut. Kami jelaskan tentang aktifitas, rutinitas dan kehidupan di pondok. Abang juga kami ajak silaturrahiim ke rumah sepupunya untuk bisa mendapatkan cerita dari pengalaman kakak sepupunya yang bersekolah di pondok. 

Bersyukurnya kami, hampir semua kakak sepupu Abang bersekolah di pesantren saat level SMP, adapun yang tidak mondok, namun bersekolah di MTsN (sekolah agama). Hal ini lebih memudahkan dalam mendapatkan informasi yang benar dan valid.

Saat Abang sudah duduk di kelas 6, kami membawanya berkunjung ke pondok pesantren tempat sepupunya bersekolah, hitung-hitung sekalian menengok keponakan (kakak sepupunya). Kami mulai mencari informasi lebih banyak tentang pesantren. Akhirnya kami memilih tiga pondok pesantren, dan mendaftarkan Abang untuk mengikuti tes masuk di sana. Kami memilih pesantren yang tidak jauh dari tempat tinggal. Masih dalam provinsi yang sama, dan dapat dicapai 1-1,5 jam perjalanan dari rumah (sudah dihitung dengan macet-macetnya).  Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan saat membesuknya. Dan kalau ada hal urgen, kami dapat segera tiba di pondok. 

Dari tes di tiga pondok, Abang lulus di dua pondok. Dan dari dua pondok tersebut dia sendiri yang memutuskan bersekolah dimana, dan kami orang tua tinggal menyetujui. Walaupun kami lebih senang dia memilih pondok yang satu kota dengan tempat tinggal, tapi ya sudahlah, kami tetap setuju dengan pilihannya. 

******

Sebelum memasukkan Abang ke pondok kami sudah menjelaskan alasan kami orangtua menyekolahkan Abang (dan juga kelak adik-adiknya) di pondok pesantren. Tidak sekali dua kali kami menjelaskan hal tersebut. Hal ini dengan maksud dia termotivasi sekaligus paham akan tujuannya bersekolah di sana. Bahkan saat dia sudah di tahun kedua dan ketiga di pondok pun kami perlu me-refresh akan hal tersebut. Untuk meluruskan kembali niat dan motivasinya dalam belajar di pondok.

Kami memasukkan anak-anak ke pesantren di level SMP, dengan beberapa alasan. Yang pertama: agar mereka mendapatkan pengetahuan agama yang lebih baik (setidaknya lebih baik dari kami orang tuanya). Dengan pemahaman agama yang lebih baik, kami berharap itu akan menjadi modal dasar bagi mereka untuk menghadapi kehidupan di masa depan, yang pastinya lebih menantang, lebih kompleks, lebih "heboh" dari saat sekarang. Dimana akal pikiran mereka perlu dituntun/dipandu dengan pemahaman agama yang baik saat mereka menghadapi suatu persoalan kehidupan, dimana orang tua jauh bahkan mungkin sudah tidak ada lagi di sisi mereka, untuk dapat memberik masukan/nasehat. Kami berharap mereka dapat hidup bermartabat dan selamat, di dunia dan akherat. Kalaupun kelak mereka sudah lupa dengan semua pelajaran yang diberikan di pondok, tapi saya punya keyakinan, pasti ada hal-hal baik yang akan dia ingat, dan itu dapat menjadi obor bagi dia, untuk kembali menemukan jalan yang semestinya, saat mereka mungkin "tersesat'' dalam perjalanannya di kehidupan ini. 

Yang kedua, tunggu lanjutannya ya. 😍


Comments