Analisis Teoritis dan Empiris Perkembangan Kemandirian dan Stimulasinya



PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengasuhan dan pendidikan anak memiliki tujuan akhir pada terciptanya kemandirian pada diri anak. Ketika anak baru dilahirkan, kehidupannya sangat tergantung pada orang lain (ibu). Bayi belum bisa melakukan apa pun untuk dirinya. Seiring dengan bertambahnya usia, bayi tumbuh dan berkembang dalam semua aspek perkembangannya, secara fisik, kognitif, sosial, dan emosi.
Kemandirian merupakan aspek yang berkembang dalam diri setiap orang, yang bentuknya sangat beragam, pada tiap orang yang berbeda, tergantung pada proses perkembangan dan proses belajar yang dialami masing-masing orang. Kemandirian pun menjadi sangat berbeda pada rentang usia tertentu. Kemandirian tidak bisa dilihat dari satu aspek saja, namun harus dilihat dari semua aspek perkembangan. Namun kemandirian secara umum dimulai dengan kemandirian secara fisik (pada usia infancy dan early childhood / sekitar 1-5 tahun) dan kemudian diiringi dengan perkembangan kemandirian aspek yang lain (kognitif, emosi, dan sosial).
Kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan, memikirkan dan merasakan sesuatu, untuk mengatasi masalah, bersaing, mengerjakan tugas, dan mengambil keputusan dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi, bertanggung jawab, serta tidak bergantung pada bantuan orang lain.

Pengertian ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Havighurst (1972), yang menyatakan bahwa kemandirian memiliki beberapa aspek, yaitu:
  1. Aspek Intelektual, yang merujuk pada kemampuan berpikir, menalar, memahami beragam kondisi, situasi, dan gejala-gejala masalah sebagai dasar usaha mengatasi masalah.
  2. Aspek Sosial, berkenaan dengan kemampuan untuk berani secara aktif membina relasi sosial, namun tidak tergantung pada kehadiran orang lain di sekitarnya.
  3. Aspek Emosi, menunjukkan kemampuan individu untuk mengelola serta mengendalikan emosi dan reaksinya, dengan tidak tergantung secara emosi pada orang tua.
  4. Aspek Ekonomi, menujukkan kemandirian dalam hal mengatur ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan ekonomi, dan tidak lagi tergantung pada orang tua.
Pola perilaku mandiri atau tidak mandiri akan menjadi dasar pembentukan perilaku di masa datang dimana kelak saat anak dewasa, mereka dituntut untuk membuat keputusan terhadap kehidupan mereka sendiri. Karena perkembangan ini sangatlah penting artinya bagi kehidupan seseorang maka sebagai orang tua, guru atau pun pihak-pihak yang ikut terlibat dalam pengasuhan dan pendidikan anak memahami bagaimana proses perkembangan kemandirian dan apa saja yang bisa dilakukan untuk mereka agar kemandiriannya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
 
 PEMBAHASAN

Pengertian Kemandirian
Jika kita mendengar kata anak mandiri, yang terbayang adalah anak yang bisa mandi sendiri, berpakaian sendiri, makan sendiri, menyiapkan perlengkapan sekolah sendiri, dan sebagainya. Apakah mandiri hanya sebatas hal tersebut di atas?
Kemandirian, menurut Sutari Imam Barnadib (1982), meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kartini dan Dali (1987) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian: suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya, bertanggungjawab tetrhadap apa yang dilakukannya.
Menurut Darodzat (1983) kemandirian adalah kecenderungan anak untuk melakukan sesuatu yang diingini tanpa meminta tolong pada orang lain, juga dapat mengarahkan kelakuannya tanpa tunduk pada orang lain. Sedangkan, Smart, Mollie dan Russel (1982) mendefinisikan kemandirian dari kebalikannya yaitu, menggantung yang dicirikan sebagai perilaku pasif dalam menghadapi hambatan, membutuhkan dorongan dan bantuan apabila menghadapi masalah tertentu. Pendapat lain tentang kemandirian dikemukakan oleh Holstein (1986) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah penampilan seseorang yang sikap dan perbuatannya menandakan keswakarsaan (berbuat sendiri) secara aktif dalam memberikan pendapat, penilaian pengambilan keputusan dan pertanggungjawaban. Selanjutnya tindakan tersebut merupakan respon yang muncul secara spontan sebagai cerminan percaya diri seseorang yang mandiri.
Robert Havighurst (1972) (dalam Hurlock, 1994) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu:
  1. Emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua.
  2. Ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua.
  3. Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
  4. Sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.
Dari definisi tentang kemandirian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandiriannya seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap.
 
Landasan Teoritis Perkembangan Kemandirian
Ada tiga teori perkembangan kemandirian dimana masing-masing teori menekankan simbiosis antara pengasuh dan bayi sebagai suatu bagian yang penting  dari pencapaian kemandirian anak, yaitu : 

1.      Separation-Individuation
Margaret Mahler  (1965, 1979), seorang psikoanalitis memperkenalkan dengan sangat detil observasi klinis terhadap bayi-bayi dan ibunya dalam usaha untuk menemukan bagaimana bayi dan batita mengembangkan kemandirian (independence). Mahler percaya bahwa anak memperoleh sebuah rasa keterpisahan yang panjang dengan sebuah rasa kekerabatan terhadap dunia melalui proses yang disebut Mahler sebagai separation-individuation. Proses ini ditandai dengan keluarnya anak dari hubungan simbiosis dengan ibunya (separation) dan akuisisi anak pada karakteristik individu dalam tiga tahun pertama kehidupannya (individuation). Di akhir tahun ke tiga, anak memiliki sebuah kemandirian secara relatif dan otonomi diri (Yussen, S.R., & Santrock, J. W. 1982)
Tabel 1. Tahap Perkembangan Ego Bayi menurut Margaret Mahler :
Usia (bulan)
Tahap
Karakteristik
4-8
Diferentiation or
Hatching
Bayi menjadi peduli terhadap perbedaan dirinya dan ibunya.
Bayi menjadi peduli terhadap keterpisahannya dan mengekspresikannya dengan menarik kembali dari ibu  saat dipegang atau memanipulasi tangan, telinga dan bagian tubuh  ibu lainnya seolah-olah mereka adalah objek luar
8-15
Practicing
Batita, peduli secara penuh terhadap dirinya, bergerak ke dalam lingkungan dan berjalan, berbicara,dan ber eksplorasi  secara mandiri
15-24
Rapprochement
Batita kembali ke ibunya lebih sering untuk memperlihatkan mainannya dan selain itu berbagi perilaku mandiri
24-30
Consolidation of
individuality
Batita mengembangkan cara-cara menghadapi perpisahan dan keterpisahan  dan  membangun sebuah rasa yang permanen  pada dirinya sebagai seorang yang terpisah
            Sumber : Understanding Infancy by Eleanor Willemsen (1979) (dalam Yussen, S.R., & Santrock, J. W. 1982)

2.      Autonomy versus Shame and Doubt 
Perkembangan ego menurut Erikson dalam teori perkembangan psikososialnya ada 8 tahap (Gunarsa, 1982). Dan tahap yang kedua adalah masa anal-muskulatur. Dimana dimensi polaritasnya adalah : merasakan adanya kebebasan dan perasaan malu dan ragu-ragu.
Pertumbuhan fisik pada masa ini memungkinkan untuk melakukan gerak-gerik, berjalan, berlari dengan bebas. Anak ingin mengetahui segala sesuatu yang ada dalam lingkungannya. Penghalusan kemampuan-kemampuan motoriknya terlihat pada kemampuannnya untuk menguasai otot, mampu buang air besar dan kecil. Anak merasa bebas dan ingin melakukan sendiri semuanya, karena mereka sudah bisa melakukannya sendiri. Perkembangan ini tumbuh menurut Erikson dari perkembangan egonya (Gunarsa, 1982).
Sebaliknya, jika ia masih mengalami kesulitan untuk menguasai tubuhnya, sehingga orang lain yang harus melakukan sesuatu kepadanya, maka pada diri anak tersebut akan tumbuh rasa malu dan ragu-ragu. Perasaan malu juga timbul karena secara naluriah ia tidak mau lagi menikmati ketergantungan yang dialami pada masa perkembangan sebelumnya, tetapi dalam kenyataannya masih banyak hal yang belum mampu dilakukannya sendiri. Situasi konflik ini menimbulkan perasaan ragu-ragu terhadap segala kemampuan yang dimilikinya sendiri. Dalam keadaan demikian anak membutuhkan arahan yang baik dan dorongan yang positif agar tidak terlalu jauh mengalami perasaan malu dan ragu-ragu ini. 

3.      Satellization-Desatellization
Teori perkembangan otonomi David Ausubel (Ausubel, Sullivan & Ives, 1980 dalam Yussen, S.R., & Santrock, J. W. 1982) dimulai dari masa bayi dimana orang tua memenuhi permintaan dan kebutuhan bayi. Kemudian orang tua berharap anak dapat melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri seperti buang air kecil dan besar, mengambil mainannya, mengontrol emosi dan sebagainya. Akan tetapi meskipun mereka berkembang secara kognitif,  anak-anak mulai menyadari bahwa mereka tidak otonomi secara penuh dari orang tuanya. Persepsi ini menimbulkan beberapa konflik terhadap anak dan bisa mengarah pada sebuah krisis dimana konsep diri anak terancam. Satu cara anak untuk bisa menyelesaikan konflik ini adalah melalui apa yang disebut Ausubel sebagai satellization. Arti sederhananya adalah bahwa pada saat anak menyerahkan rasa kekuatan otonominya dan gagasan percaya diri total, hasilnya adalah anak menerima ketergantungannya terhadap orang tuanya.
 Ausubel percaya bahwa banyak orang tua yang tidak mampu mengembangkan sebuah hubungan satellization dengan anaknya.  Untuk  terciptanya satellization ini maka anak harus merasakan bahwa orang tua mereka mencintai mereka tanpa syarat dan mempercayakan pengasuhan mereka kepada orang tua mereka. Dua gaya pengasuhan yang tidak akan menciptakan satellization adalah gaya pengasuhan overvaluation dan rejection (penolakan).  Pada saat orang tua menilai terlalu tinggi, mereka secara terus menerus berinteraksi dengan anak-anak mereka seolah-olah anak-anak berada dalam kontrol. Misalnya orang tua yang hidup seolah mengalami sendiri melalui anak dan berharap bahwa anak akan mencapai sesuatu yang tidak dicapai oleh orang tuanya. Seperti menjadi pemain sepakbola atau seorang dokter. Pada saat orang tua menolak, mereka melihat anak sebagai suatu bagian yang tidak diinginkan dari eksistensi diri mereka. Kebutuhan anak dipenuhi secara segan dan hanya jika itu penting. Cinta dan penerimaan tidak ada, atau setidaknya dianggap sebagai tidak ada oleh anak. Pada anak yang mendekati masa remaja, satellization ini akan digantikan oleh desatellization yang melepaskan diri.

Landasan Empiris Perkembangan Kemandirian
Banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat perkembangan kemandirian anak. Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh Rheingold, dimana dia meneliti tentang kemandirian anak yang dilihat dari sejauh mana ketidaktergantungannya pada orang tuanya (dalam hal ini ibu). Bagaimana kenyamanan anak saat ditinggal oleh orang tuanya. Harriet Rheingold melakukan sejumlah penelitian sejak tahun 1969 untuk mengukur pengaruh lingkungan asing (ruangan) terhadap perilaku bayi usia 10 bulan. Ternyata lingkungan asing tidak berpengaruh kuat terhadap distress anak-anak yang ditempatkan di ruangan tersebut tanpa ibunya, tidak pula ketidakhadiran ibunya (Rheingold, 1969 dalam Yussen & Santrock, 1982).
Penelitian selanjutnya melihat bagaimana perilaku bayi di usia yang sama terhadap lingkungan asing, namun bayi diberi kesempatan untuk meninggalkan ibunya di ruangan asing tersebut dan masuk kembali sendiri ke ruangan yang sama (Rheingold & Eckerman, 1969 dalam Yussen & Santrock, 1982). Hasilnya menunjukkan semua bayi masuk atas inisiatif mereka sendiri walau pun di ruangan tersebut tidak ada mainan. Mereka juga merangkak ke tempat-tempat dalam ruangan dimana mereka tidak dapat melihat ibu mereka. Mereka keluar masuk beberapa kali ke ruangan dimana ibu mereka berada. Tapi pada saat mereka kembali ke ruangan untuk yang ketiga kalinya, mereka tidak kontak dengan ibu mereka (Rheingold, 1973 dalam Yussen & Santrock, 1982). 
Pada penelitian independence yang dilakukan pada primata, terlihat bahwa bayinya mulai menarik diri dari induknya. Semakin besar dia akan seringkali meninggalkan induknya, lebih jauh dan lebih lama. Untuk menemukan seberapa jauh seorang anak lepas dari ibunya,  Rheingold & Eckerman, 1970 (Yussen & Santrock, 1982) menempatkan seorang ibu dan seorang anak di belakang rumah dimana ibu duduk di kursi dan anaknya pergi dengan bebasnya berkeliling di sekitar halaman. Penelitian ini memperlihatkan hubungan antara usia anak (dari 1-5 tahun) dengan jauhnya (jarak) kepergian mereka dari ibunya. Namun kelanjutan hubungan pada ibu terlihat saat anak yang lebih besar diamati.
Penelitian-penelitian perkembangan independence selanjutnya menunjukkan bahwa eksplorasi anak dipengaruhi oleh karakteristik fisik (Bjork-lid-Chu, 1977) dan sosial (Menzel, 1974) lingkungan dimana dia berada. Kesempatan anak untuk mengikuti anak yang lainnya diperlihatkan saat eksplorasi berlangsung. Ternyata seorang anak ikut keluar saat anak yang lebih besar keluar duluan. (Hay, 1977, 1980 dalam Yussen & Santrock, 1982).
Penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Psathas (1957), dimana dia melakukan penelitian untuk melihat otonomi remaja. Menurutnya otonomi remaja bukanlah sebuah ciri-ciri yang konsisten dan biasa dari seluruh pikiran dan perilaku remaja. Misalnya di salah satu penelitian terhadap pelajar SMA dimana mereka ditanya 25 pertanyaan (Psathas, 1957 dalam Yussen & Santrock, 1982), tentang kemandirian mereka dari keluarga mereka. Empat pola yang jelas berbeda dari otonomi remaja keluar dari analisis respon pelajar. Empat aspek kemandirian dari otonomi remaja tersebut adalah:
1.   “permissiveness in outside activities”. Diwakili oleh pertanyaan seperti, “Apakah kamu harus menghitung   dan menuliskan bagaimana kamu menghabiskan uang yang diberikan orang tua?”
2.  “permissiveness in age-related activities”. Direfleksikan dengan pertanyaan seperti, “Apakah orang tuamu membantumu membelikan pakaian?”
3.   “parental regard for judment”. Diindikasikan oleh respon terhadap pertanyaan seperti,  “Dalam diskusi keluarga, apakah orang tuamu mendorongmu  untuk memberikan pendapatmu?”
4.  “activities with status implication”. Ditunjukkan dengan adanya pengaruh orang tua terhadap pemilihan kerja. 
Brittain (1963) juga tertarik untuk meneliti tentang otonomi remaja ini. Dia ingin melihat siapa yang paling berpengaruh dalam pengambilankeputusan remaja untuk melakukan suatu tindakan dan dalam hal apa saja hal itu berlaku. Di penelitian ini ia mengamati pengaruh orang tua dan teman sebaya terhadap remaja (Brittain, 1963 dalam Yussen & Santrock, 1982). Remaja diragukan apakah mereka lebih dipengaruhi teman sebaya mereka atau orang tua mereka dalam berbagai konteks, misalnya mengambil kelas yang berbeda di sekolah, memilih gaya yang berbeda dalam berpakaian, atau memilih untuk mundur atau menerima tawaran kerja setengah hari. Seperti yang mungkin kita harapkan, dalam beberapa situasi remaja memilih untuk mengikuti keinginan temannya ketika di beberapa konteks yang lain, mereka memilih mempercayakan pada nasehat orang tua mereka. Misalnya, ketika keputusan melibatkan nilai dasar dan orientasi pekerjaan, remaja lebih suka mendengarkan orang tua mereka; tapi ketika kegiatan teman sebaya terlibat mereka lebih menyukai untuk bersama teman-teman mereka.      
Strodtbeck (1958) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh gaya pengasuhan orang tua terhadap otonomi remaja. Dia meneliti nilai kemandirian remaja laki-laki dan orang tua mereka  dengan memberikan pertanyaan secara terpisah. Ketika terdapat  hubungan antara remaja dan orang tua mereka tidak hangat / dekat, maka terlihat dominasi ayah yang kuat dalam keluarga dan keyakinan anak laki-laki dalam kemampuannya untuk mengontrol dirinya dan dunianya (internal locus of control). Jadi terlihat bahwa remaja yang dibesarkan dari orang tua yang menganut pengasuhan dengan gaya authoritarian, memperlihatkan otonomi yang rendah. Dalam sebuah penelitian lintas budaya tentang remaja dan keluarganya, terlihat bahwa orang tua yang authoritarian mengalami kegagalan terhadap pembentukan otonomi remaja (Kandel & Lesser, 1969).
 
Tahapan Perkembangan Kemandirian
Selain tahap perkembangan ego bayi menurut Margaret Mahler yang sudah diuraikan sebelumnya, kita dapat melihat tahap perkembangan kemandirianmelalui pendekatan  tugas-tugas perkembangan.
Havighurst (1972) mendefinisikan tugas perkembangan sebagai tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan berikutnya. Jika tugas perkembangan gagal maka akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas selanjutnya.
Tingkat otonomi anak diperlihatkan dengan semakin besar otonomi yang dapat dicapai maka semakin besar kesempatan untuk merasa bahagia. Hal ini ditemukan baik pada masa kanak-kanak mau pun masa dewasa (Hurlock, 1994).
Havighurst (1972) membagi tugas-tugas perkembangan ke dalam 6 periode yaitu :

  1.  Bayi dan awal masa kanak-kanak (0-5 tahun)
Pada periode ini, anak belajar berjalan, berbicara, buang air kecil/besar, memakan makanan padat, belajar membedakan jenis kelamin, membentuk konsep-konsep/pengertian, siap untuk belajar membaca.
Melalui ketrampilan, motorik anak dapat beranjak dari kondisi helplessness (tidak berdaya) pada bulan-bulan pertama dalam kehidupannya, ke kondisi yang independence (bebas tidak bergantung). Anak dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya, dan dapat berbuat sendiri untuk dirinya. Kondisi ini akan menunjang perkembangan rasa percaya dirinya (Yusuf, 2006)
Erikson menjelaskan bahwa anak usia pra sekolah mengalami krisis perkembangan karena mereka menjadi dependent dan mengalami konflik antara initiative dan guilt. Anak berkembang baik secara fisik maupun kemampuan intelektual serta berkembangnya rasa percaya diri untuk melakukan sesuatu. Mereka menjadi lebih mampu mengontrol lingkungan fisik sebagai mana dia mampu mengontrol tubuhnya (Yusuf, 2006)

Anak-anak usia pra sekolah

Jadi pada periode ini anak mulai terlihat perkembangan kemandiriannya secara fisik. Anak mulai belajar melayani dirinya sendiri, seiring dengan perkembangan motoriknya yang semakin bagus. Contoh sederhana, anak usia 3-4 tahun yang sudah bisa menggunakan alat makan, seharusnya bisa makan sendiri, ini adalah bentuk kemandirian secara fisik.
Masa usia pra sekolah (usia taman kanak-kanak) disebut juga sebagai masa trotzalter, yaitu masa krisis pertama dimana terjadi perlawanan. Krisis ini terjadi karena ada perubahan yang hebat dalam dirinya, yaitu dia mulai sadar akan akunya. Dia mulai menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungan atau orang lain. Dia suka menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain. Dengan kesadaran ini anak menemukan bahwa ada dua pihak yang berhadapan yaitu akunya dan orang lain (orang tua, saudara, guru dan teman sebaya). Dia mulai menemukan bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi orang lain, memperhatikan kepentingannya. Pertentangan akan kemauan diri dan tuntutan lingkungannya, dapat mengakibatkan ketegangan dalam diri anak, sehingga tidak jarang anak meresponnya dengan sikap membandel atau keras kepala. Bagi anak usia ini, sikap membandel ini merupakan suatu kewajaran karena perkembangan pribadi mereka sedang bergerak dari sikap dependent ke independent (Yusuf, 2006).
  1.  Akhir masa kanak-kanak (6-12 tahun)
Pada periode ini anak mulai mencapai kebebasan pribadi (mandiri secara sosial), seiring dengan perkembangan fisik, sosial dan emosinya. Selain itu anak pada periode ini mencapai hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman-teman seusianya baik laki-laki mau pun perempuan, memahami aturan sosial untuk berperilaku sesuai gendernya (maskulin atau feminisme), menerima perubahan fisik, mulai mempersiapkan diri untuk menikah dan bekerja, dan mengakuisisi nilai-nilai dan etika sebagai pedoman untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi serta mencapai perilaku bertanggung jawab secara sosial (Havighurst, 1972).  
Pada masa ini, berkembang kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawab (Ambron, 1981 dalam Yusuf 2006). Meskipun mereka mulai menampakkan keinginan untuk bebas (independent) dari tuntutan orang tua, namun pada dasarnya mereka masih sangat membutuhkan perawatan, asuhan, bimbingan atau curahan kasih sayang orang tua (dependent).


Pengalaman sekolah mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kemandirian anak. Dengan adanya hubungan yang baik antara orang tua dan sekolah, orang tua dapat memperoleh informasi tentang kegiatan-kegiatan sekolah yang mendorong perkembangan otonomi anak. Apakah kemandirian yang didorong orang tua sebaik yang didorong oleh guru? Apakah otonomi di sekolah sama dengan di rumah? Bagaimana hubungan antara disiplin dan kemandirian yang dilakukan di lingkungan kelas, praktek disiplin orang tua, iklim kelas dan sekolah dan lain-lain.
  1.  Remaja (13-18 tahun)
Pada periode ini anak mulai memahami adanya aturan untuk berperan sesuai gender masing-masing (maskulin atau feminism), mencapai kemandirian emosional, memasuki masa siap untuk menikah dan bekerja, menerima nilai-nilai dan etika untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi (Havighurst, 1972).  
Keinginan yang kuat untuk mandiri berkembang pada awal masa remaja ini dan mencapai puncaknya menjelang periode remaja ini berakhir. Hal ini menimbulkan banyak perselisihan antara remaja dengan orang tua dan orang dewasa lainnya. Jika orang dewasa yang berkuasa berangsur-angsur bersikap santai, maka para remaja dapat membebaskan diri dari usaha mencapai sasaran / tujuan (Hurlock, 1994).  
Anak remaja

Remaja mulai keluar dari pengaruh orang tua dalam membuat keputusan sendiri. Pada waktu yang sama remaja mulai menunjukkan tanda-tanda kebebasan dari pengaruh orang tua. Mereka dengan cepat berada di bawah pengaruh teman sebaya.. Hal yang salah jika kita menganggap bahwa otonomi remaja sama dengan kesesuaian total remaja dengan budaya teman sebayanya. Namun otonomi remaja dipengaruhi oleh berbagai macam faktor sosial, dimana 2 faktor sosial yang penting adalah faktor orang tua dan teman sebaya (Yussen dan Santrock, 1982).
  1.   Dewasa awal (19-29 tahun)
Pada periode ini, seseorang mulai mencari pasangan hidupnya, belajar untuk hidup dengan pasangannya, memiliki anak, mangatur rumah tangga, memiliki pekerjaan, bertanggung jawab sebagai warga negara, dan menemukan kelompok lingkungan sosial (Havighurst, 1972).  
Pada periode ini kemandirian secara keseluruhan sudah mulai terlihat, kemandirian secara fisik, sosial, dan emosi. Begitu juga dalam hal kemandirian secara ekonomi dimana, dengan pekerjaan yang sudah dimilikinya seseorang pada periode ini sudah dapat menghidupi dirinya termasuk keluarganya.  
  1.   Dewasa pertengahan (30-60 tahun)
Pada periode ini tugas perkembanganya adalah (Havighurst, 1972):
·    Growth Development of Abilities, Interests, Needs Associated with Self-Concept
·    Exploration Tentative Plans, Choices Narrowed not Finalized
·    Establishment Stable Career Identity
·    Maintenance Small Adjustments
·    Decline  Reduced Productivity and Retirement
6.  Dewasa Akhir (61+ tahun) (Vocational Maturity) (Havighurst, 1972):
·  Oriented to Vocational Choice?  Knows choices need to be made and emotionally engaged.
·      Information and Planning?  Has information and engages in long term planning including educational plans.
·      Consistent Vocational Preferences?  Has stable vocational goals and plans.
·      Vocationally Independent?  Makes decisions independently
·      Wise Decisions?  Decisions fit aptitude, ability, resources

Tabel 2. Perbandingan Perkembangan Psikososial Menurut Erikson dan Tugas Perkembangan Menurut Havighurst
Usia (tahun)
Perkembangan Psikososial Menurut Erikson
Tugas Perkembangan Menurut Havighurst
0 – 1
Trust vs mistrust
·       Learning to walk.
·       Learning to take solid foods
·       Learning to talk
·       Learning to control the elimination of body wastes
·       Learning sex differences and sexual modesty
·       Forming concepts and learning language to describe social and physical reality.
·       Getting ready to read
1 – 3
autonomy vs shame and doubt
3 -5/ pra sekolah
Initiative vs guilty
6 – 11/ masa sekolah
industry vs inferiority
·       Learning physical skills necessary for ordinary games.
·       Building wholesome attitudes toward oneself as a growing organism
·       Learning to get along with age-mates
·       Learning an appropriate masculine or feminine social role
·       Developing fundamental skills in reading, writing, and calculating
·       Developing concepts necessary for everyday living.
·       Developing conscience, morality, and a scale of values
·       Achieving personal independence
·       Developing attitudes toward social groups and institutions
12 – 18/ masa remaja
Identity vs identity confusion
·         Achieving new and more mature relations with age-mates of both sexes
·         Achieving a masculine or feminine social role
·         Accepting one's physique and using the body effectively
·         Achieving emotional independence of parents and other adults
·         Preparing for marriage and family life Preparing for an economic career
·         Acquiring a set of values and an ethical system as a guide to behavior; developing an ideology
·         Desiring and achieving socially responsible behavior
18 – 40 / masa dewasa dini
Intimacy vs isolation
·         Selecting a mate
·         Achieving a masculine or feminine social role
·         Learning to live with a marriage partner
·         Starting a family
·         Rearing children
·         Managing a home
·         Getting started in an occupation
·         Taking on civic responsibility
·         Finding a congenial social group
·         Growth Development of Abilities, Interests, Needs Associated with Self-Concept
·         Exploration Tentative Plans, Choices Narrowed not Finalized
·         Establishment Stable Career Identity
·         Maintenance Small Adjustments
·         Decline  Reduced Productivity and Retirement
40 – 60 / masa dewasa madya
generativity vs stagnan
> 60 / dewasa lanjut
Ego integrity vs despair
·       Oriented to Vocational Choice?  Knows choices need to be made and emotionally engaged.
·       Information and Planning?  Has information and engages in long term planning including educational plans.
·       Consistent Vocational Preferences?  Has stable vocational goals and plans.
·       Vocationally Independent?  Makes decisions independently
     Sumber : Santrock, 2007 dan Havighurst, 1972

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perkembangan Kemandirian
Anak-anak diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri berdasarkan kekuatan pribadi, kebutuhan diri sendiri untuk bisa tidak tergantung pada orang lain, bukan berdasar kemauan dan keinginan orang tua. Kemandirian seseorang dapat berkembang dengan baik atau malah sebaliknya tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adalah : 

Self
Kemandirian sangat erat terkait dengan anak sebagai individu yang mempunyai konsep diri, penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem), dan mengatur diri sendiri (self regulation). Anak memahami tuntutan lingkungan terhadap dirinya, dan menyesuaikan tingkah lakunya.
Konsep diri dapat diartikan sebagai gambaran mental seseorang terhadap dirinya, pandangan terhadap diri, penilaian terhadap diri, serta usaha untuk menyempurnakan dan mempertahankan diri.
Peranan konsep diri bagi individu dalam berperilaku tidak dapat diragukan lagi, sebab konsep diri merupakan pusat dari perilaku individu. Safarino, dkk (1980) menjelaskan bahwa konsep diri adalah pemikiran seseorang tentang ciri khas dirinya yang meliputi ciri-ciri fisik, jenis kelamin, kecenderungan tingkah laku, watak emosional dan cita-cita. Calhaun (1990) mengungkapkan, konsep diri adalah pandangan diri anda tentang anda sendiri yang meliputi tiga dimensi yakni pengetahuan anda tentang diri anda sendiri, pengharapan mengenai diri anda, dan penilaian tentang diri anda sendiri.
Dengan demikian, konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri sendiri (persepsi diri). Persepsi diri tersebut dapat bersifat sosial, fisik, dan psikologis yang diperoleh dari pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Senada dengan definisi ini Smart dan Russel (1982) mengemukakan bahwa konsep diri dibangun dari semua jenis pengalaman dengan obyek (benda) orang, seorang diri dan dalam interaksi sosial. Dengan demikian, konsep diri sebagai cara-cara bagaimana seseorang beraksi terhadap dirinya sendiri yang pada hakikatnya meliputi empat aspek yaitu :
1.    bagaimana orang mengamati dirinya sendiri
2.    bagaimana orang berpikir tentang dirinya sendiri
3.    bagaimana orang menilai dirinya sendiri dan,
4.    bagaimana orang berusaha dengan berbagai cara untuk menyempurnakan dan mempertahankan diri.
Setiap macam konsep diri mempunyai aspek fisik dan psikologis. Aspek fisik terdiri dari konsep yang dimiliki individu tentang penampilannya, kesesuaian dengan aksesnya, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan perilaku dan gengsi yang diberikan tubuhnya di mata orang lain. Aspek psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidak mampuannya, harga dirinya dan hubungannya dengan orang lain.
Selanjutnya Fahmy (1982) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan gambaran mental yang dibentuk tentang dirinya mempunyai tiga sisi yaitu : 
  1. Khusus tentang ide yang diambil dari kemampuan dan kemungkinannya, boleh jadi gambaran tentang dirinya sebagai orang yang mempunyai tempat yang memiliki kemampuan untuk belajar, dan mempunyai kekuatan jasmani. Dengan kata lain, ia mampu untuk mencapai keberhasilan,
  2. Adapun sisi kedua dari pengertian pribadi hubungannya dengan orang lain. Karena yang sangat mempengaruhi pandangan hidup tentang dirinya. 
  3. Sisi ketiga adalah pandangan orang yang seharusnya terhadap dirinya. Semakin kecil beda antara gambaran orang tentang dirinya secara nyata dengan pandangan atau gambaran ideal diangan-angankan, semakin bertambah kematangan dan semakin dekat tercapainya gambaran tersebut.
Berdasarkan kajian secara mendalam bahwa konsep diri berperan penting dalam menentukan perilaku seseorang guna mempertahankan keselarasan batin, mengatasi konflik yang ada pada dirinya dan untuk menafsirkan pengalaman yang didapatkan. Karena itu konsep diri diperlukan seseorang untuk dijadikan acuan dan pegangan hidup dalam menghadapi segala tantangan dan hambatan guna memenuhi kebutuhan meraih prestasi.
Konsep diri bukan merupakan pembawaan tetapi dipelajari dan terbentuk karena seseorang berinteraksi dengan orang lain. Semakin luas dan berkualitas interaksi tersebut, pengalaman seseorang akan semakin mantap membentuk konsep diri lebih rinci dan spesifik. Flinberg seperti dikutip Safarino (1980) menjelaskan bahwa keluarga dan teman sebaya memberikan sifat-sifat dasar sosial bagi konsep diri.
Adapun orang lain yang dimaksud dan yang akan membubuhkan tanda pada konsep diri seseorang adalah orang tua, kawan sebaya, dan masyarakat termasuk guru di sekolah. Orang tua adalah kontak sosial paling awal yang kita alami dan yang paling kuat. Orang tua mereka sangat penting, apa yang dikomunikasikan oleh orang tua pada anak lebih menancap dari pada informasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya. Orang tua memberi arus informasi yang konstan tentang diri kita. Lagi pula merekalah yang menolong menetapkan pengharapan kita, dan orang tua mengajarkan bagaimana menilai diri sendiri. Dalam keluargalah konsep diri seseorang mulai terbentuk berdasarkan penilaian orang tua terhadap diri anak. Penilaian tersebut menyangkut penghargaan dan hukuman terhadap perilaku anak berdasarkan pedoman dan standar nilai yang dimiliki orang tua.
Attachment
Kelekatan atau attachment didefinisikan oleh Ainsworth sebagai ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu (Hetherington dan Parke dalam Ervika, 2000)
Kelekatan ini menjadi sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Dia menjadi dasar bagi berkembangnya kepribadian yang sehat. Kelekatan akan mempengaruhi kemampuan kognitif, perkembangan hati nurani, coping skills (frustasi dan stress), perkembangan hubungan, kemampuan untuk menangani ancaman dan emosi negatif. Menurut Bowlby kelekatan yang dibentuk saat kanak-kanak sangat berpengaruh terhadap masa dewasa (Semiun, 2006). Kelekatan antara ibu dan bayi menentukan kemampuan bayi untuk membangun kelekatan di masa yang akan datang (Sinclair, 2009)
Menurut Ainsworth (Belsky 1988 dalam Ervika, 2000) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh di tahun-tahun awal kehidupannya. Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe, 2002).
Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai dirinya dan orang lain yang akan akan menjadi mekanisme penilaian terhadap penerimaan lingkungan (Bowlby dalam Pramana 1996). Anak yang merasa yakin terhadap penerimaan lingkungan akan mengembangkan kelekatan yang aman dengan figur lekatnya (secure attachment) dan mengembangkan rasa percaya tidak saja pada ibu juga pada lingkungan. Hal ini akan membawa pengaruh positif dalam proses perkembangannya.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki kelekatan aman akan menunjukkan kompetensi sosial yang baik pada masa kanak-kanak (Both dkk dalam Parker, Rubin, Price dan DeRosier, 1995) serta lebih populer di kalangan teman sebayanya di prasekolah (La Freniere dan Sroufe dalam Parker dkk, 1995). Anak-anak ini juga lebih mampu membina hubungan persahabatan yang intens, interaksi yang harmonis, lebih responsif dan tidak mendominasi (Parker dan Waters dalam Parker dkk,1995). Sementara itu Grosman dan Grosman (Sutcliffe, 2002) menemukan bahwa anak dengan kualitas kelekatan aman lebih mampu menangani tugas yang sulit dan tidak cepat berputus asa.

Parenting (Gaya pengasuhan orang tua).  
Lingkup sosial awal yang meletakkan dasar perkembangan pribadi anak adalah keluarga. Dengan demikian keluarga (orang tua) memiliki porsi terbesar untuk membawa anak mengenal kekuatan dan kelemahan diri untuk berkembang, termasuk perkembangan kemandiriannya. Orang tua dengan gaya pengasuhannya sangat mempengaruhi perkembangan kemandirian anak. Anak yang biasa dihukum karena melakukan pelanggaran, dan tidak diberikan kasih sayang atau perhatian maka anak tersebut cenderung lebih dependent daripada anak yang diasuh dengan penuh kasih sayang. Namun apabila perlindungan orang tua terlalu berlebihan (memanjakan) maka anak cenderung kurang bertanggung jawab dan mandiri (senantiasa meminta bantuan kepada orang lain).
Diana Baumrind (1971, 1996), seorang pakar parenting  mengatakan bahwa ada empat bentuk gaya pengasuhan atau parenting :
  1. Authoritarian parenting adalah gaya asuh yang bersifat membatasi dan menghukum. Orang tua yang otoriter memerintah untuk mengikuti petunjuk mereka dan menghormati mereka. Mereka membatasi dan mengontrol anak mereka dan tidak mengizinkan anak banyak bicara. Anak-anak yang orang tuanya otoriter seringkali berperilaku secara tidak kompeten secara sosial. Mereka cenderung cemas menghadapi situasi sosial, tidak bisa membuat inisiatif untuk beraktivitas, dan keahlian komunikasinya buruk.
  2. Authoritative parenting, mendorong anaknya untuk menjadi independent tetapi masih membatasi dan mengontrol tindakan anaknya. Perbincangan tukar pendapat dibolehkan dan orang tua bersikap membimbing dan mendukung. Orang tua yang authoritative mungkin akan merangkul anaknya dengan lembut,  memberikan pengasuhan atau perawatan yang penuh kehangatan dan pemahaman serta memberikan arahan atau tuntunan (pemberian tugas yang sesuai dengan umurnya). Anak yang orang tuanya authoritative seringkali berperilaku kompeten secara sosial. Mereka cenderung mandiri dan tidak cepat puas, gaul, dan memperlihatkan harga diri yang tinggi, memiliki rasa percaya diri, bersikap ramah, mempunyai tujuan yang jelas, dan mampu mengontrol diri. Karena hasil gaya ini positif maka Baumrind sangat mendukung gaya asuh otoritatif ini.
  3. Neglectful parenting adalah gaya asuh dimana orang tua tidak terlibat aktif dalam kehidupan anaknya. Anak dari orang tua yang abai ini sering bertindak tidak kompeten secara sosial. Mereka cenderung  kurang bisa mengontrol diri, tidak cukup mandiri, dan tidak termotivasi untuk berprestasi.
  4. Indulgent Parenting adalah gaya asuh dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anaknya tapi tidak banyak memberi batasan atau kekangan pada perilaku anak. Orang tua ini sering membiarkan anaknya (bersikap permisif)  untuk melakukan  apa yang anak inginkan dan membiarkan anak mencari cara sendiri untuk mencapai tujuannya. Orang tua model ini percaya kombinasi dukungan pengasuhan dan sedikit pembatasan akan menciptakan anak yang kreatif dan percaya diri. Hasilnya adalah anak biasanya tidak belajar untuk mengontrol perilakunya sendiri, mereka kurang memiliki arahan hidup yang jelas dan kurang percaya diri. Orang tua ini tidak memperhitungkan seluruh aspek perkembangan anak (Yusuf, 2006).  
Stimulasi Perkembangan Kemandirian
Dari beberapa uraian di atas terlihat jelas bahwa kemandirian sangat penting tumbuh dan berkembang pada diri anak. Keterlambatan pada tumbuh kembang pencapaian kemandirian akan menyebabkan tertundanya perkembangan aspek yang lain pada diri anak. Untuk itu perlu adanya stimulasi agar kemandirian dapat terbentuk sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya. Dan yang perlu kita sadari adalah bahwa kemandirian itu tidak dapat dicapai secara instan, dia memerlukan proses dan waktu. 


Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam pengasuhan anak (keluarga/ orang tua) antara lain :
1.      Menumbuhkan “basic trust”
     Setiap bayi sebenarnya sudah memiliki basic trust, tetapi ketika dia balita sebaiknya orang tua sepatutnya memberikan respon positif atas kebutuhan anak. Hal ini dapat meningkatkan perasaan “trust” balita dan balita pun akan merasa aman di dalam kehidupannya. Dengan terbentuknya perasaan aman (secure), balita pun akan lebih berani dalam menghadapi tantangan yang ada di hadapannya. Mandiri pun akan ikut terbentuk juga ketika menyelesaikan persoalannya.
2.      Memberikan “tanggung jawab” atau kepercayaan kepada anak
      Ketika kita melihat atau merasa anak kita melakukan sesuatu yang kita rasa dia mampu melakukannya, sebaiknya kita memberi kesempatan kepada dia untuk melakukannya sendiri. Misal ketika dia selesai makan dan ingin meletakkan piringnya di tempat cucian, kita bisa memberi kesempatan itu kepada dia dan jangan melarangnya.  Jika kita merasa dia mampu, jangan terlalu mengkhawatirkannya (contoh takut pecah karena harganya mahal). Memberi kesempatan dan kepercayaan kepada anak seperti itu dapat membuat anak berani dan mandiri.
     Tak sedikit orangtua yang takut bila anaknya yang berusia batita melakukan hal-hal tertentu. Saat anak ingin naik-turun tangga sendiri, kerap tidak diperbolehkan, bahkan langsung digendong. Akibatnya, anak jadi penakut dan tak mampu mengontrol diri sendiri. Tak ada salahnya memperbolehkan anak naik-turun tangga sendiri, tentunya dengan diawasi dan dijaga oleh orangtua maupun pengasuhnya. Setiap anak mampu mengukur, seberapa jauh ia dapat mengontrol diri sendiri. Saat berada di ketinggian tertentu, anak mempunyai insting dasar untuk bertahan dan tidak melompat. Biarkan anak melakukan hal yang diinginkannya, tetapi tetap harus diawasi.
3.      Memberi contoh
     Anak akan selalu mencontoh, hal ini juga berlaku ketika kita ingin anak berani dan mandiri. Jika orang tua memiliki kepribadian yang tertutup misal tidak suka melakukan hal-hal yang baru, takut menghadapi tantangan sebaiknya tidak untuk terlalu mengharapkan balitanya tumbuh dengan memiliki kepribadian berani dan mandiri. Misal kita ingin anak belajar berenang sedangkan orang tua-nya sendiri takut masuk air, hal ini tentu akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Dengan memberi contoh yang konkret kepada anak, anak akan memahaminya dan semakin mudah dia menirunya. Namun jika orang tua tidak atau belum bisa memberi contoh yang konkret kepada anak, sebaiknya jangan menunjukkan “ketakutan” dan “ketidakmandirian” kepada si anak, baik secara langsung atau tidak langsung.
4.      Jangan memaksa
      Semua yang kita lakukan untuk melatih keberanian dan kemandirian anak memerlukan waktu dan proses, hal itu dapat berkembang secara perlahan sehingga jangan kita memaksa anak untuk menguasai segala hal yang diajarkan pada saat itu juga. Misal melatih anak untuk selalu bangun tidur langsung mandi, jangan memaksa anak saat itu juga untuk menguasai hal tersebut, perlu beberapa hari hingga lancar. Orang tua selalu dampingi dan mengingatkan anak untuk melakukan hal yang benar tersebut. Tetapi perlu diingat agar jangan terlalu sering/keras mengkritik anak karena hal itu akan membuat keberanian anak menjadi  turun.
5.      Jangan terlalu membebani
     Perlu diingat bahwa tahapan yang bisa dilalui oleh anak adalah berkembang secara bertahap, sehingga stimulus yang diberikan kepada anak harus disesuaikan juga dengan perkembangannya. Jika terlalu banyak stimulus akan membuat anak bingung dan akan kehilangan keberanian untuk melakukan sesuatu.
6.      Menetapkan batasan dengan tepat
      Kita tetap harus memberi batasan apa yang boleh dilakukan oleh anak apa yang tidak. Larangan yang diberikan itu harus disertai dengan alasan yang logis. Misal ketika anak melatih keberaniannya dengan bermain di luar teras rumah, sepatutnya orang tua tidak menakut-nakuti anak dengan hal-hal yang tidak bisa difahami/logis oleh anak, contohnya mengatakan anak akan diganggu hantu atau digigit anjing, dan sebagainya. Ketakutan tersebut akan ditangkap oleh otaknya sebagai kenyataan yang benar dan anak pun akan tidak berani keluar dari teras rumahnya, akhirnya akan mempengaruhi keberanian dan kemandirian dia.



PENUTUP
Anak tumbuh dan berkembang sepanjang hidup mereka. Tingkat ketergantungan berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan aspek-aspek kepribadian dalam diri mereka. Anak tumbuh dan berkembang dalam lingkup sosial.
Pengertian anak mandiri adalah anak yang mampu memenuhi kebutuhannya, baik berupa kebutuhan naluri maupun kebutuhan fisik, oleh dirinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa bergantung pada orang lain. Bertanggung jawab dalam hal ini berarti mengaitkan kebutuhannya dengan kebutuhan orang lain dalam lingkungannya yang sama-sama harus dipenuhi.
Sebenarnya, sejak usia dini naluri setiap anak sudah menunjukkan perilaku dasar mandiri. Misalnya, pada saat masih bayi, mereka belajar untuk tengkurap, merangkak, berdiri, dan berjalan sendiri. Dalam masa itu mereka berusaha sekuat tenaga untuk bisa walaupun sering gagal dan menangis. Hal itu merupakan perilaku adaptif sesuai dengan usia anak untuk menjadi manusia yang mandiri. Hanya saja, sering kali lingkungan kurang tanggap dan kondusif terhadap proses menuju kemandirian ini sehingga anak mendapat perlakuan yang salah. Misalnya, acap kali orang tua merasa tidak tega atau kurang sabar melihat si kecil yang berusaha menautkan tali sepatunya selama beberapa saat, namun belum juga berhasil, lalu segera membantu menyelesaikan masalah tersebut. Tanpa disadari bahwa sikap semacam ini menghentikan proses menuju kemandirian yang sedang diperjuangkan sang anak. Akibatnya, anak akan terbiasa mencari orang tuanya apabila menghadapi persoalan, dan mulai tergantung pada orang lain, untuk hal-hal yang kecil sekalipun.
Semua orang tua pasti menginginkan anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang mandiri, namun tidak semua keinginan bisa terwujud. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh peran orang tua itu sendiri. Sejauh mana keterlibatan mereka dalam pengasuhan anak-anak mereka dalam rangka untuk menumbuhkan kemandirian anak. Peran orang tua yang berlebihan dalam memberikan perhatian dan sekaligus memberi ‘jalan’ bagaimana anak harus melakukan sesuatu berdampak pada kemandirian anak. Hal ini tidak menjadi masalah saat usia kanak-kanak (TK, SD), namun akan menjadi masalah saat ia beranjak remaja karena lahan hidupnya makin luas, makin kompleks, dan penuh persaingan. Orang tua tidak dapat lagi memonitor secara penuh aktivitas mereka.
Pengaturan yang berlebihan akan membuat remaja tidak ‘siap tempur’ untuk eksplorasi lingkungan dan menyelesaikan berbagai dilema hidup mereka. Mereka akan tergantung pada orang tua dalam banyak hal. Kondisi ini mencerminkan rasa tidak aman dan nyaman untuk melakukan beragam hal dalam hidup mereka.
Secara umum kemandirian bisa diukur melalui bagaimana anak bertingkah laku secara fisik. Namun, tidak hanya itu, kemandirian juga bisa berwujud pada perilaku emosional dan sosialnya. Contoh sederhana, anak usia 3-4 tahun yang sudah bisa menggunakan alat makan, seharusnya bisa makan sendiri, ini adalah bentuk kemandirian secara fisik. Anak yang bisa masuk ke kelas dengan nyaman karena mampu mengontrol dirinya adalah bentuk kemandirian emosional. Contoh kemandirian sosial yaitu apabila anak mampu berhubungan dengan orang lain secara independen sebagai individu, dan tidak selalu hanya berinteraksi dengan orang tua atau pengasuhnya.


Anak-anak yang tidak mandiri akan memberi pengaruh negatif terhadap perkembangan kepribadiannya sendiri. Apabila hal ini tidak segera diatasi, anak akan mengalami kesulitan pada perkembangan selanjutnya. Anak akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Terlebih, anak yang tidak mandiri juga akan menyusahkan orang lain.
Anak-anak yang tidak mandiri cenderung tidak percaya diri dan tidak mampu mengambil keputusan dengan baik. Sedangkan bentuk ketergantungan kepada orang lain dapat berupa; misalnya mulai dari persiapan berangkat sekolah, ketika di lingkungan sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, sampai dalam pola belajarnya. Dalam persiapan berangkat sekolah, misalnya, anak selalu ingin dimandikan orang lain, dibantu berpakaian, minta disuapi, disiapkan buku dan peralatan sekolah oleh orang lain, termasuk harus selalu diantar ke sekolah. Ketika belajar di rumah, mereka mungkin mau, asalkan semua dilayani; misalnya anak akan menyuruh orang lain untuk mengambilkan pensil, buku, serutan dan sebagainya.

Sumber:


Calhuan, James F. 1990. Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Penterjemah Satmoko. IKIP Semarang. Semarang
Darojat, Zakiah. 1983. Perawatan Jiwa Untuk Anak. Bulan Bintang. Jakarta.
Ervika, Eka, 2000. Kualitas Kelekatan dan Kemampuan Berempati pada Anak. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Gunarsa, Singgih D. 1982. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. BPK Gunung Mulia. Jakarta.
Havighurst, Robert: Developmental Theorist. 1972. http://faculty.mdc.edu/jmcnair/ (unduh 17 Januari 2011)
Hetherington, E.M & Parke R.D., (Ed). 1999. Child Psychology : A Contemporary View Point. Fifth Edition. Mc Graw-Hill College
Holstein, Herman. 1986. Murid Belajar Mandiri. Penterjemah Suparno. Remaja  Rosdakarya. Bandung.
Hurlock, Elizabeth B. 1994. Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga. Jakarta.
Parker, J.G., Rubin, K.H., Price, J.M., DeRosier, E.M. 1995. Child Development and Adjustment : A Developmental Psychology Perspective dalam Cicchetty,D & Cohen, D.J., Developmental Psychopatology Volume 2. Risk Disorder and Adaptation. Halaman 96-161. John Willey and Sons Inc
Pramana, W, 1996. The Utility of Theories of Parenting, Attachment, Stress and Stigma in Predicting Adjustment to Illness. Desertasi. Departement of Psychology the University Of Queensland.
Safarino, Edward P. and James W. Amstrong. 1980.Child And Adolescent  Development. London Scott. Foreman And Company. Inggris
Santrock, John W. 2007. Psikologi Pendidikan. Prenada Media Group. Jakarta.
Semiun, Y., OFM. 2006. Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Kanisius. Yogyakarta
Sinclair, C. 2009. Buku Saku Kebidanan. EGC. Jakarta
Singgih D. Gunarsa. 1982. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. BPK Gunung Mulia. Jakarta.
Smart, Mollie S dan Russel C Smart. 1982. Children Development and Relationship. The macmilan Company. NewYork.
Sutcliffe, J. 2002. Baby Bonding, Membentuk Ikatan Batin dengan Bayi. Taramedia & Restu Agung. Jakarta
Yussen, S.R., & Santrock, J. W. 1982. Child Development : An Introduction. Wm. C. Brown Company Publisher. USA.
Yusuf, Syamsu. 2006. Psikologi perkembangan anak dan remaja.. Rosdakarya. Bandung.
(Bunda Muthia)



Comments

Post a Comment