Kisah Buya Hamka dalam Buku "Ayah" yang Bertaburan Hikmah

Buku ini bercerita tentang kisah hidup dan kehidupan Buya Hamka. Banyak pelajaran yang sangat menginspirasi para pembaca.

Buku ini pemberian bapak saya, saat saya pulang kampung setelah beberapa tahun tidak pernah pulang. Tadinya saya bermaksud meminjam buku yang saya belikan untuk bapak karya Akmal Sjafril yang berjudul Buya Hamka: Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme. Saya membelikan dan mengirimkan buku tersebut kepada bapak karena saya tahu banget kalau bapak sangat menyukai kisah dan pemikiran Buya Hamka. Buku-buku karya Buya, banyak yang dimiliki oleh bapak. Namun saat saya menanyakan buku yang saya belikan tersebut, bapak malah menawarkan saya buku yang berjudul "Ayah" ini. "Bacalah, ini sangat menarik", ucap bapak seraya menyerahkan buku tersebut ke saya. Sedangkan buku yang saya maksud, tidak jadi saya pinjam. Jadilah buku tersebut saya bawa balik ke Depok dan menemani beberapa waktu saya.  

Buku Ayah ini ditulis oleh Irfan Hamka (anak ke-5 Buya Hamka), yang diterbitkan oleh Penerbit  Republika Cetakan I Mei 2013, dengan jumlah halaman Xxviii + 323 halaman. Prof. Dr. Hamka lahir di Maninjau Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada tanggal 17 Februari 1908. Beliau menikahi Siti Raham Binti Rasul Sutan Endah yang saat itu berusia 15 tahun (1914-1971) pada tanggal 5 April 1929. Beliau memiliki nama lengkap H. Abdul Malik Karim Amarullah. Beliau mendapatkan Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Cairo Mesir pada tahun 1961.


Buku: Ayah, Kisah Buya Hamka


Membaca buku ini menjadikan saya mengetahui banyak hal tentang Buya, yang tidak saya dapati di bacaan lain. Bapak sering berkisah tentang Buya, dan kesan bapak kepada Beliau sangat mendalam. Setelah membaca buku ini, saya bisa menyimpulkan kalau sosok Buya ini adalah sosok ulama dengan integritas dan karakter yang luar biasa. Sikap-sikap baik banyak terdapat pada diri Beliau, yang rasanya tidak pernah saya jumpai lagi ulama seperti beliau di zaman sekarang. Beliau cerdas, lembut, kokoh, kuat, sederhana dan lurus. Beliau ulama sekaligus sastrawan dan budayawan. Beliau lembut dalam melayani umat namun sekaligus tegas dalam bersikap. Dan ternyata beliau memiliki kemampuan beladiri yang tidak bisa dibilang biasa-biasa saja.

Sembari membaca buku ini saya sempatkan juga untuk browsing rekaman ceramah beliau yang banyak terdapat di internet. Saya dapati beberapa ceramah beliau, disampaikan dengan suara sederhana namun sarat makna. Tak satu pun rekaman ceramah beliau yang saya dengar, disampaikan secara berapi-api atau pun canda ringan sebagai selingan. Tidak ada satu pun. Atau kah mungkin saya terlewatkan beberapa rekaman ceramah beliau??  Mungkin anda semua dapat mengoreksi tulisan saya ini.

Beberapa kisah menarik dari sosok Buya yang mencerminkan sikap dan karakter Beliau bertebaran di semua halaman buku Ayah ini.
Hasil gambar untuk buya hamka


Buya, Pribadi yang Selalu Menjaga Hubungan dengan Allah

Menurut Buya Sutan Mansyur, guru Buya hamka yang merupakan mantan Ketum PP Muhammadiyah, Buya Hamka tidak pernah melepas dzikir, mengaji dan selalu ingat Allah. Buya sangat kuat dalam membaca Al Qur'an. Tentang hal ini beberapa kali dituliskan di dalam buku ini, bahwa Buya memiliki kebiasaan mengaji sebelum tidur. Buya tidak akan berhenti membaca Al Qur'an sebelum ia mengantuk, bisa sampai 2-3 jam. Walau Buya sedang dalam perjalanan ke luar kota dan luar negeri, kebiasaan Buya membaca Al Qur'an tidak pernah ditinggalkan.

Dalam kisah perjalanan Buya dari Iraq menuju Mekkah lewat darat, diceritakan bahwa sepanjang perjalanan, Buya lebih sering menghabiskan waktu dengan membaca Al Qur'an. Sepeninggal istri beliau, Buya lebih lama lagi dalam tilawah Al Qur'an. Beliau bisa menghabiskan waktu 5-6 jam sehari untuk membaca Al Qur'an. Tentang hal ini, pernah Beliau jelaskan pada Penulis buku Ayah ini.
 
"Ayah dan Ummi telah berpuluh-puluh tahun lamanya hidup bersama. Tidak mudah bagi Ayah melupakan kebaikan Ummi. Itulah sebabnya bila datang ingatan Ayah terhadap Ummi, Ayah mengenangnya dengan bersenandung. Namun bila ingatan Ayah kepada Ummi itu muncul begitu kuat, Ayah lalu segera mengambil air wudhu. Ayah shalat Taubat dua rakaat. Kemudian Ayah mengaji. Ayah berupaya mengalihkannya dan memusatkan pikiran dan kecintaan Ayah semata-mata kepada Allah".

"Ayah shalat taubat, karena ayah takut kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada Allah. Itulah mengapa Ayah shalat taubat terlebih dahulu".

Saat Bulan Ramadhan, Buya biasa mengkhatamkan Al Qur'an sebanyak lima kali. Setelah Ummi wafat, Buya mengkhatamkan Al Qur'an sebanyak 6-7 kali. Masyaallah ya, ternyata Buya sosok laki-laki setia lagi romantis 😊 Buya tak pernah sekali pun putus hubungannya dengan Allah dalam keadaan apapun.


Cover Belakang Buku "Ayah"

Buya Seorang yang Berjiwa Besar dan Pemaaf. 

Sikap ini dapat kita lihat pada kisah beliau yang memenuhi permintaan keluarga Presiden Soekarno, agar Buya bersedia menjadi imam sholat jenazah Presiden Soekarno, sebagaimana wasiat Soekarno kepada keluarganya. Soeryo, ajudan Presiden Soeharto membawa pesan Soekarno kepada Buya yang isinya "Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam sholat jenazahku".

Buya dengan tulus menjadi imam bagi sholat jenazah Soekarno pada bulan  Juni 1970. Padahal Soekarno telah memenjarakan Buya selama 2 tahun 4 bulan (1964-1966) dengan tuduhan melanggar UU Anti Subversif Pempres No. 11, yaitu merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Beliau dipenjara tanpa diadili. Beliau difitnah karena disamping sastrawan non-komunis, beliau juga tokoh besar Muhammadiyah dan Masyumi yang bertentangan dengan PKI. Bahkan buku-buku karangan Buya dilarang terbit dan beredar. Dipenjaranya Buya menyebabkan kehidupan ekonomi keluarga beliau semakin sulit. Saat banyak pro kontra masyarakat dan tokoh dengan Buya menjadi imam sholat jenazah Soekarno, Buya menyampaikan, "Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama saya ditahan, saya merasa semua itu merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al Qur'an 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin saya ada waktu untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu" (hal 257).

Di lain kisah, Buya menerima dengan baik putri Pramoedya Ananta Toer (Astuti) dan calon suaminya (Daniel Setiawan), yang bermaksud ingin masuk Islam sekaligus minta dibimbing dan diajarkan agama Islam kepada calon suaminya. Tanpa keraguan Buya membimbing Daniel membaca dua kalimat syahadat, dan selanjutnya menganjurkan Daniel untuk berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam dengan Buya. Buya melakukan hal tersebut dengan tulus tanpa sedikitpun menyinggung sikap Pramoedya terhadapnya di waktu lampau. Pramoedya dalam lembaran Lentera asuhannya di Harian Bintang Timur awal tahun 1963 menuduh karya Buya "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" sebagai hasil curian dari karangan asli Alvonso care (pujangga Prancis). Berbulan-bulan koran tersebut, juga koran Harian Rakyat menyerang Buya dengan tulisan-tulisan berbau fitnah, bahkan juga menyerang pribadi Buya. Setelah peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, Pramoedya ditahan di Pulau Buru. Namun beberapa tahun kemudian dia bebas. Pramoedya dalam kesempatan lain menjelaskan kepada Dr. Hoedaifah Koeddah tentang sikapnya, "Masalah faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agam Islam dan masuk Islam kepada Hamka (hal 263-265). 

Pada tahun 1962, Chaerul Shaleh (salah seorang menteri di kabinet Soekarno saat itu) mendatangi Buya dengan membawa pesan dari Mr. Moh. Yamin yang saat itu anggota Konstituante dari Fraksi Partai Nasional Indonesia (PNI). Chaerul Shaleh berkata pada Buya, "Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Saat ini Pak Yamin dalam keadaan sakarat di RSPAD".

"Dan yang sangat merisaukan Pak Yamin adalah beliau ingin bila wafat dapat dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjunginya. Beliau sangat khawatir masyarakat Talawi, kampung halamannya tidak menerimanya. Ketika terjadi pergolakan di Sumatara Barat, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisahan wilayah dari NKRI. Beliau mengharapkan sekali Hamka bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya”,  lanjut Chaerul Shaleh menjelaskan. 

Hanya sebentar Buya termenung. Banyak pengalaman pahit yang dirasa oleh Buya selama beberapa tahun dengan tokoh yang mengaku wajahnya mirip dengan Patih Majapahit Gajah Mada itu.  

”Kalau begitu mari bawa saya ke RSPAD menemui beliau" kata Buya. Sampai di ruangan VIP RSPAD, terlihat banyak pengunjung. Buya menjabat tangan Pak Yamin dan mencium keningnya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar Pak Yamin berkata:  “Terima kasih Buya sudi datang.” Dari kedua kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.

“Dampingi saya,” bisiknya lagi. Tangan Buya masih terus digenggamnya. Buya membisikkan surat Al Fatihah dilanjutkan kalimat La ilaaha illallaah Muhammadarrasulullah. Beberapa saat setelahnya Pak Yamin meninggal dunia. Tokoh yang bertahun-tahun sangat membenci Buya, di akhir hayatnya meninggal dunia sambil bergenggaman tangan dengan Buya.

Dari rumah sakit Buya diajak Chairul Saleh ke Istana Negara, untuk melapor kepada Presiden Soekarno atas wafatnya Pak Yamin. Pemerintah telah mempersiapkan acara pemakaman kenegaraan di TMP Kalibata, Jakarta. Namun karena wasiat terakhir Pak Yamin ingin dimakamkan di kampung halaman Talawi, Sawah Lunto, Presiden memerintahkan Gubernur Sumatera Barat Drs. Harun Zen untuk mempersiapkan upacara kenegaraan.

Sebelum meninggalkan istana, Presiden Soekarno menyalami Buya sambil berucap: “Terima kasih atas kebesaran jiwa Bung turut mendampingi Yamin menjelang wafatnya dan bersedia mengantarnya ke Talawi. Atas nama pribadi dan  pemerintah saya ucapkan terima kasih.” Ini adalah pertemuan terakhir antara Buya dan Presiden Soekarno, 2 tahun kemudian Buya dijebloskan ke penjara atas perintah Soekarno.

Keesokan harinya, memenuhi pesan terakhir Almarhum Pak Yamin, agar Buya bersedia menemani jenazahnya dimakamkan di Kampung Talawi, Sawah Lunto Sumatera Barat dikabulkan Buya. Proses pemakaman dilakukan dengan upacara kenegaraan. Inspektur upacaranya bapak Menteri Chaerul Saleh.
Kebencian Moh. Yamin kepada Buya berawal dari pidato Buya di persidangan saat menjadi anggota Konstituante dari Fraksi Masyumi (1955-1957), dan Moh. Yamin dari Fraksi PNI.

"Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!" kata Buya dalam pidatonya. Moh. Yamin terkejut dan marah besar mendengar pidato Buya, dan berlanjut kebencian yang sangat kepada Buya di hari-hari setelahnya. Namun akhirnya Soekarno mengeluarkan Dekrit, membubarkan Konstituante dan Parlemen, serta menetapkan UUD 45 dan Pancasila sebagai dasar negara.  


Buya Jago Silat Berjiwa Pendekar 

Menurut Zaki Hamka (Putra Sulung Buya), Buya waktu mudanya adalah seorang pesilat yang disegani di Maninjau, kampung kelahiran beliau. Buya menggemari dan mempelajari ilmu-ilmu silat Minang, seperti Silat Kumango, Silat Taralak, juga Silat Tuo (cikal bakal silat Minang). Buya belajar silat kepada Pamannya Kari Manamin (M. Amin), yang merupakan adik ayahnya (Inyiak doktor) satu ibu.

Buya adalah guru silek (silat) bagi anaknya. Selesai sholat shubuh mereka sering berlatih. Buya mengajarkan Irfan (anaknya yang menulis buku Ayah) langkah sembilan. Langkah sembilan ini merupakan inti dari silat Minang. Langkah sembilan ini merupakan tukar menukar langkah; maju, mundur, gerakan menyamping, dan berputar. 

Kemampuan silek buya dituliskan dalam buku tersebut saat perjalanan Buya dan Penulis dari Bandung menuju Jakarta. Dimana di tahun 1955 saat Buya menjadi anggota Konstituante Partai Masyumi, Buya sering bolak balik Jakarta-Bandung. Saat bus berhenti di Cipanas, semua penumpang makan dan istirahat. Selesai Buya dan Penulis sholat, dan hendak menuju tempat bus parkir, mereka dihadang oleh 3 orang penjahat. Salah satu diantara mereka mencabut pisau belati dan menangkap tangan kanan Buya. Ia mengarahkan pisaunya ke leher Buya. Dengan cepat Buya memegang tangan kanan si penyerang yang memegang pisau, mengapitnya di bawah sikunya. Tangan kanan Buya telah memegang pisau yang akan ditodongkan ke lehernya tadi. Terdengar jeritan kesakitan si penyerang. Pisau di tangan kanan Buya ditempelkan ke leher orang itu. Melihat kejadian itu, kedua teman penodong lari. 

Adik Buya (Abdul Kudus) bercerita kepada Penulis, saat usia Buya 14 atau 15 tahun, Buya pernah bertanding silat dengan seorang juara yang usianya jauh di atas Buya. Dalam pertandingan di gelanggang silat itu, Buya berhasil menjatuhkan lawannya.


Buya Sosok yang Lurus dan Tegas 

Ketika Buya terpilih sebagai Ketua Umum MUI Pusat (Majelis Ulama Indonesia), berbagai fitnah banyak dilontarkan kepada Buya. Ada yang menyatakan Buya bukan milik umat lagi. Buya telah menjual dirinya dengan uang satu miliar untuk dapat menduduki jabatan itu. Dia telah menjadi orang istana. Begitu fitnah itu bertebaran di masyarakat dan kalangan mubaligh.

Sewaktu MUI di bawah kepemimpinan Buya mengeluarkan fatwa "Haram hukumnya bagi umat Islam mengikuti perayaan Natal bersama", Pemerintah keberatan atas fatwa tersebut. Karenanya Buya menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI Pusat. Saat Buya dulu dilantik menjadi Ketum MUI, beliau menyatakan bahwa "Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah semata. Ulama yang telah menjual diri kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun".
"Ulama ibarat kue bika. Dari bawah dipanggang api, dari atas pun dibakar api. Begitu juga ulama, dari bawah oleh ummat dan dari atas oleh Pemerintah". 

Jakarta, 12 April 2018
Bunda Muthia

Comments