Pengasuhan Anak : Keluarga Amerika VS Jepang


Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga juga merupakan tempat terbentuknya karakter seorang anak yang akan mempengaruhi perannya sebagai individu pada saat dewasa dalam masyarakat. Pola pengasuhan yang ada di dalam keluarga akan sangat mempengaruhi perkembangan individu. Di satu sisi, anak adalah pewaris, penerus dan calon pengemban bangsa. Oleh karena itu, keberhasilan pengasuhan di dalam keluarga akan mempengaruhi masa depan bangsa nantinya. Peran orangtua dan keluarga melalui pengasuhan tidak bisa terlepas dari nilai- nilai sosial budaya yang ada dalam komunitasnya (Wallace dalam Taryati, 1994).
Budaya yang ada dalam suatu komunitas mempunyai peranan penting dalam menyediakan kondisi yang kondusif bagi perkembangan anak. Pada umumnya orangtua belajar dari budaya setempat tentang peran yang harus dilakukannya dalam mengasuh anak. Oleh karena itu, jika budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga berdampak positif terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, jika ternyata keyakinan yang ada dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak.
Orangtua harus berperan sebagai buffer antara anak dan lingkungan. Orangtua mengajarkan nilai dari budaya mereka kepada anak dan budaya yang umum berlaku pada masyarakat dan mengajarkan realitas sebagai anggota ras/suku tertentu dan bagaimana mengatasi perbedaan dengan realitas yang ada sehingga memperoleh rasa bangga sebagai suatu suku bangsa bagi perkembangan anak sendiri.

********* 

Jepang dan Amerika Serikat (AS) adalah dua negara yang berada pada fase kritis yang sama dalam beberapa bidang seperti perdagangan, politik dan kerjasama internasional. Dua negara ini saling membutuhkan dan mungkin saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Kesamaan kedua negara maju ini dalam perkembangan teknologi namun memiliki kebudayaan yang berbeda. Latar belakang budaya yang berbeda ini, ikut mewarnai corak pengasuhan dalam keluarga mereka masing-masing. Karakter dasar budaya Jepang antara lain yaitu: malu/ shame (haji; Benedict, 1946), dependency wish (amae; Doi, 1973), hubungan sosial yang terbatas/limited social nexus (Nakamura, 1964), vertical society (Nakane, 1970), public and private self (Barnlund, 1975).
Beberapa perbedaan orang tua dalam memperlakukan anak antara Jepang dan AS antara lain : ibu di AS memiliki pendekatan yang lebih hidup terhadap bayinya. Banyak menstimulus, melihat dan berbicara pada bayinya. Komunikasi antara ibu dan bayi adalah untuk merespon suara gembira bayi. Anak usia 5 tahun sudah terpisah tidurnya dengan orang tuanya. Sedangkan ibu di Jepang memiliki pendekatan yang lebih menyejukkan dan menenangkan pada bayi, dengan cara ‘meninabobokan’, menggendong, dan mengayun bayinya. Komunikasi antara ibu dan bayi adalah dalam rangka untuk menenangkan bayi. Anak usia 5 tahun masih tidur dengan orang tuanya.
Dalam pengasuhan anak terdapat harapan orang tua dalam tumbuh kembangnya nanti. Dalam hal ini terdapat juga perbedaan antara orang tua di AS dengan di Jepang. Bagi ibu di AS penguasaan anak-anaknya lebih awal adalah dalam hal verbal asertif dan ketrampilan sosial, dimana ketrampilan sosial yang ditekankan adalah antara anak dengan temannya. Perubahan sebagai hasil dari perkembangan anak, bertahap yakni dari  ketergantungan menuju kemandirian, dimana ada masa transisi menuju dewasa yang ditandai dengan keluarnya anak dari rumah orang tuanya untuk hidup mandiri “leaving home”. Sedangkan bagi ibu di Jepang, penguasaan anak-anaknya lebih awal adalah dalam hal kematangan emosional, kepatuhan dan kesopanan sosial, dimana kepatuhan yang ditekankan adalah  kepatuhan anak terhadap orang tuanya. Perubahan sebagai hasil dari perkembangan anak, juga bertahap yakni dari  ketergantungan yang immature menuju ketergantungan yang mature.
Penelitian yang dilakukan di Tokyo dan San Fransisco ini menunjukkan bahwa kohesi yang didefinisikan sebagai “the degree of commitment, help, and support family members provide for one another”, tampaknya merupakan konsep budaya yang penting bagi sebagian besar orang Jepang. Hal ini dapat menjadi salah satu aspek yang paling penting dari orientasi kelompok Jepang (Hamaguchi, 1982). Kohesi dan kontrol memiliki hubungan positif pada orang tua Jepang namun berhubungan negatif untuk orang tua AS. Dalam norma budaya Amerika, kohesi, yang meliputi bantuan dan dukungan dalam kelaurga diputuskan atas kebijaksanaan setiap anggota dewasa (termasuk anak yang sudah dewasa) dan bukan hasil dari aturan dan pembatasan (misal kontrol) di luar individu. Sedangkan di jepang hal-hal seperti bantuan, dukungan dan komitmen (misalnya kohesi) tampaknya datang dari orangtua dengan penekanan pada aturan-aturan tradisional dan prosedur di luar individu.
            Orientasi prestasi dan budaya intelektual memiliki korelasi positif untuk orang tua Jepang namun tidak berkorelasi untuk orang tua AS. Jepang melihat hasil atas prestasi sebagai ungkapan kepercayaan atas pendidikan yang baik, yang karenanya memerlukan kompetisi dan usaha yang keras melalui ujian masuk sekolah. Prestasi di Jepang diungkapkan dalam bentuk memasuki sekolah-sekolah populer, namun tidak demikian dengan di AS. Jika di Jepang, sekolah dimana anak belajar, menunjukkan strata atau kelas sosial keluarga tersebut di masyarakat. Namun di AS hampir tidak ada perbedaan kelas sosial atau kelas intelektual. Sebetulnya Jepang dan Amerika Serikat (AS) sama-sama memiliki kecenderungan untuk berprestasi. Hanya saja di Jepang pencapaian prestasi mengatasnamakan kelompok sedangkan di AS mengatasnamakan individu.
Moral Agama dan Active Recreational memiliki hubungan positif pada anak-anak Jepang tapi tidak berhubungan pada anak-anak AS. Di sekolah-sekolah dasar Jepang “everyone in harmony” (minna nakayoku) merupakan tema utama yang ditekankan secara berulang, termasuk dalam pendidikan moral setiap minggu di kelas. Kegiatan rekreasi menempatkan tujuan ini melalui pengembangan ketrampilan sosial untuk kerjasama dan harmoni yang merupakan tujuan moral bagi sebagian besar orang Jepang. Bagi anak-anak AS bagaimanapun praktek moral agama berorientasi pada pertumbuhan individu sebagai manusia yang terintegrasi tapi unik, oleh karena itu hubungan antara dua orientasi ini tidak selalu penting.
Delapan dari 10 subskala (Cohesion, expressiveness, conflict, independence, achievement orientation, intellectual-cultural orientation, active-recreational orientation, moral-religiouis emphasis, organization dan control) berguna untuk melihat dinamika keluarga di Jepang. Independence dan expressiveness merupakan hal yang penting bagi keluarga AS, tapi bagi keluarga di Jepang hal ini merupakan konsep yang tidak mudah dimengerti. 

Sumber: 
Naoki Nomura, Yuji Noguchi, Satoru Saito, dan Ichiro Tezuka. Family Characteristics and Dynamics in Japan and the United States : A Preliminary Report from The Family Environment Scale.  International Journal Intercultural Rel., Vol. 19, No. 1, pp. 59-86, 1995.

Ditulis Bulan Juli 2011
Bunda Muthia

Comments