Peran dan Fungsi Keluarga dalam Pengasuhan dan Pendidikan Anak


            Lingkup sosial awal yang meletakkan dasar perkembangan pribadi anak adalah keluarga. Dengan demikian keluarga (kedua orang tua) memiliki porsi terbesar untuk membawa anak mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya. Oleh karena itu peran dan fungsi orang tua dalam keluarga sangat penting untuk diperhatikan.
            Namun peran dan fungsi keluarga pada saat ini sudah mulai berkurang. Menurut Covey (1997) berkurangnya fungsi keluarga pada saat ini diakibatkan oleh karena terjadinya pergeseran infrastruktur, seperti : Kebudayaan, Hukum-hukum, Ekonomi dan Teknologi. Upaya yang kuat perlu dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan peran keluarga, sehingga individu-individu yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga menjadi individu-individu yang membawa kebaikan bagi keluarganya nanti dan bagi lingkungan sosial dimana ia berada. Masyarakat yang harmonis dan bermartabat akan terbentuk jika fungsi dan peran keluarga ditegakkan.
            Mengembalikan peran dan fungsi keluarga tidak hanya ditujukan pada ibu saja, namun kedua orang tua (ibu dan ayah) harus bekerja sama dalam mengelola kehidupan keluarga mereka. Misalnya merencanakan pengasuhan yang baik terhadap anak-anak yang mereka miliki. Pengasuhan yang baik akan menghasilkan anak-anak dengan pribadi yang kokoh dan mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Namun tidak semua orang tua bisa melakukan pengasuhan dengan baik. Kebanyakan orang tua mempelajari taktik pengasuhan dari orang tua mereka sendiri. Sebagian praktek tersebut mereka terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Dan di antara suami dan istri mungkin saja membawa pandangan yang berbeda  mengenai pengasuhan ke dalam pernikahan mereka, karena masing-masing dibesarkan dari orang tua yang berbeda dan dalam lingkungan serta gaya pengasuhan yang berbeda pula (Santrock  2007).    
Pengasuhan yang baik membutuhkan waktu dan usaha dari kedua orang tua (Bradley & Corwyn 2004; Powell 2005 dalam Santrock 2007). Tentu bukan hanya jumlah waktu yang dihabiskan orang tua bersama anak yang penting bagi perkembangan anak, kualitas pengasuhan juga tak kalah pentingnya (Santrock 2007). Pengasuhan tidak bisa digantikan oleh orang lain (selagi kedua orang tua kandungnya masih bisa melakukannya), apalagi oleh benda-benda mati seperti TV dan  CD.  
Pengasuhan memerlukan sejumlah kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar dari kedua orang tua, namun sangat sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini.  Walaupun sedikit sekolah formal untuk menjadi orang tua yang baik, namun sebetulnya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan peran orang tua itu sendiri dapat diperoleh dari buku-buku, majalah, tulisan-tulisan ilmiah bahkan dengan mudah dapat diakses melalui situs-situs di internet.
 Peran pemerintah dalam membentuk orang tua-orang tua yang baik, yang memiliki kompetensi sebagai orang tua perlu dipikirkan juga. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Ratna Megawangi di depan Wakil Presiden RI, bahwa pentingnya dilakukan pemberdayaan KUA (Kantor Urusan Agama) yang tidak hanya sekedar mengurus orang-orang yang menikah atau bercerai, tetapi ada tugas lain yang perlu ditambahkan, yakni melakukan pembinaan kepada pasangan-pasangan yang akan menikah. Selama ini pembinaan hanya dilakukan pada pasangan-pasangan yang akan bercerai. Tentunya akan lebih baik lagi jika pembinaan dilakukan pada pasangan-pasangan yang akan menikah. Kebijakan baru sebagai syarat untuk menikah perlu juga dipikirkan misalnya pernikahan bisa dilangsungkan dengan syarat telah mengikuti beberapa materi yang terkait dengan rumah tangga dan pengasuhan anak yang diselenggarakan oleh KUA sendiri atau yang direkomendasikan pada lembaga lain yang berkompeten untuk memberikan materi tersebut.   
 Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh menjadi individu yang dewasa secara sosial, namun mereka mungkin merasa frustasi dalam berusaha menemukan cara terbaik untuk mencapai hal tersebut. Walau pun masalah spesifik yang dihadapi orang tua berubah ketika anak tumbuh besar, pada setiap tingkatan usia, orang tua menghadapi berbagai pilihan tentang seberapa besar mereka harus merespon kebutuhan anak, dan seberapa besar kendali yang harus diterapkan dan bagaimana menerapkannya (Santrock 2007).
Anak-anak berubah ketika mereka tumbuh dari bayi ke masa kanak-kanak, pertengahan dan akhir masa kanak-kanak, serta masa dewasa. Setiap tahap pertumbuhan anak  memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda sehingga orang tua yang baik harus bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan perkembangan anak tersebut (Maccoby 1984 dalam Santrock 2007).
Menurut Bowlby (1969) pengasuh memiliki peran utama dalam perkembangan anak, terutama selama satu tahun pertama kehidupan anak, dalam menetapkan dasar bagi bayi untuk mengembangkan kelekatan yang sehat, pengertian diri, dan pengertian self efficacy (pengaturan diri).
Gaya pengasuhan orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak pada seluruh aspek perkembangannya. Diana Baumrind menjelaskan tentang tiga gaya pengasuhan orang tua yaitu autoritatif, autoritarian, dan permisif.  Eleanor Maccoby dan John Martin (1983) menambahkan gaya pengasuhan yang keempat yaitu acuh atau lepas tangan (neglectful atau uninvolved) (Papalia, Old & Feldman 2008). Dari empat gaya pengasuhan ini, gaya pengasuhan otoritatif cenderung merupakan gaya yang paling efektif karena :
  1. Orang tua menerapkan keseimbangan yang tepat antara kendali dan otonomi, sehingga memberi anak kesempatan untuk membentuk kemandirian sembari memberikan standar, batas, dan panduan yang dibutuhkan anak (Reuter & Conger 1995 dalam Santrock 2007)
  2. Orang tua lebih cenderung melibatkan anak dalam kegiatan memberi dan menerima secara verbal dan membolehkan anak mengutarakan pandangan mereka (Kuczynski & Lollis 2002 dalam Santrock 2007). Jenis diskusi keluarga ini membantu anak memahami hubungan sosial dan apa yang dibutuhkan untuk menjadi orang yang kompeten secara sosial (Santrock 2007)
  3. Kehangatan dan keterlibatan orang tua membuat anak lebih bisa menerima pengaruh orang tua (Sim 2000 dalam Santrock 2007)
 Kategori Baumrind merefleksikan pandangan terhadap perkembangan anak yang dominan di Amerika Utara dan dapat saja menjadi kurang tepat jika diaplikasikan kepada beberapa kultur atau kelompok sosioekonomi. Di antara Asia-Amerika, kepatuhan dan ketegasan lebih diasosiasikan kepada kekerasan dan dominasi, tampaknya banyak terkait dengan pengasuhan, perhatian dan keterlibatan, serta upaya mempertahankan harmonitas keluarga. Kultur tradisional Cina, dengan penekanan sikap hormat kepada yang lebih tua, menekankan tanggung jawab orang dewasa dalam mempertahankan keteraturan sosial dengan mengajarkan perilaku yang tepat secara sosial. Kewajiban ini dilaksanakan dengan kontrol yang tegas kepada anak dan bahkan dengan menggunakan hukuman fisik (Zhao 2002 dalam Papalia, Old & Feldman 2008)
Satu hal yang penting dalam pengasuhan yang perlu diperhatikan orang tua adalah, membekali anak dengan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan sosial dimana  anak tumbuh dan berkembang. Anak yang tumbuh membawa nilai-nilai lingkungan sosialnya, cenderung akan diterima oleh lingkungan sosialnya dengan baik. Nilai-nilai ini akan berbeda pada setiap negara, tergantung budaya dan nilai-nilai yang dianut.
Nilai-nilai yang diterapkan orang tua ini akan berbeda antara orang tua di Jepang dan Amerika Serikat juga Indonesia. Jepang dan Amerika Serikat (AS) misalnya merupakan negara yang sama-sama berada pada fase kritis yang sama dalam beberapa bidang seperti perdagangan, politik dan kerjasama internasional. Selain itu kedua negara ini memiliki kecendrungan yang sama untuk berprestasi. Bagi keluarga AS, independence dan expressiveness merupakan hal yang penting, tapi bagi keluarga di Jepang hal ini merupakan konsep yang tidak mudah dimengerti. Dalam norma budaya Amerika, bantuan dan dukungan orang tua terhadap anak (anggota keluarga lainnya) dalam keluarga, diputuskan atas kebijaksanaan setiap anggota dewasa (anak yang sudah dewasa) dan bukan hasil dari aturan dan pembatasan seperti kontrol orang tua. Sedangkan di Jepang hal-hal seperti bantuan, dukungan dan komitmen berasal dari orang tua dengan penekanan pada aturan-aturan tradisional dan prosedur di luar individu (Nomura, Noguchi, Saito, & Tezuka 1995).
Untuk memahami anak dalam keluarga kita harus melihat lingkungan keluarga tersebut, atmosfir dan struktur atau komposisinya. Pada gilirannya hal ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi di lingkungannya. Sebagaimana yang dideskripsikan oleh teori bioekologis Bronfenbrener, lapisan pengaruh tambahan termasuk pekerjaan orang tua dan status sosioekonomik serta tren sosial seperti urbanisasi, perubahan dalam ukuran keluarga, perceraian, dan perkawinan kembali, membantu membentuk lingkungan ramah dan setelah itu perkembangan anak (Papalia, Old & Feldman 2008).
Terkait dengan pengaruh ukuran keluarga, maka orang tua yang memiliki lebih dari satu anak, perlu melakukan pengasuhan dengan pendekatan yang berbeda-beda terhadap masing-masing anak sesuai dengan tipe atau karakter anak-anak tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Mary A. Silles (2010) menunjukkan adanya pengaruh urutan kelahiran terhadap perkembangan perilaku. Kelahiran pertama memperoleh skor tes yang lebih tinggi daripada anak-anak yang lahir di tengah atau bungsu. Anak sulung dan anak bungsu cenderung berperilaku lebih baik di sekolah daripada anak tengah.
Untuk menjadikan keluarga bahagia dan sejahtera dan melahirkan anak-anak yang berkembang secara optimal, membutuhkan kerja keras dan komitmen kedua orang tua untuk mewujudkan hal itu semua. Kerjasama yang baik dalam keluarga diiringi dengan pemahaman tentang semua dimensi yang terkait dengan keluarga, tumbuh kembang anak dan pengasuhan, akan mengantarkan keluarga pada tujuannya, yakni mencapai kebahagiaan untuk seluruh anggota keluarga. 


Sumber:

Covey SR. 1997. The 7 Habits of Highly Effective Families: Building a Beautiful Family Culture in a Turbulent World. New York: Franklin Covey Company.
Nomura, N, et al. 1995. Family Characteristics and Dynamics in Japan and The United States : A Preliminary Report from The Family Environment Scale. International Journal Intercultural Rel., Vol. 19, No. 1, pp. 59-86, 1995).
Papalia, D. E, Old, S. W, & Feldman, R. D. 2008. Psikologi Perkembangan. Edisi Kesembilan. Kencana. Jakarta.
Santrock, J. W. 2007. Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas. Jilid 2. Erlangga. Jakarta. 
Silles, Mary A.  2010. The implications of family size and birth order for test scores and behavioral development. Economics of Education Review 29 (2010) 795–803

  

Ditulis Bulan April 2011
Bunda Muthia

Comments